Liputan6.com, Chicago - Boeing menyiapkan uang santunan sebesar USD 100 juta atau Rp 1,4 triliun (USD 1 = Rp 14.122) untuk keluarga korban kecelakaan pesawat di Indonesia dan Etiopia. Tetapi, uang itu baru tersedia dalam beberapa tahun ke depan.
Dilaporan CNBC, uang itu dimaksudkan untuk membantu para keluarga korban dan komunitas yang terdampak kecelakaan di Oktober dan Maret yang merenggut nyawa 346 orang.
Advertisement
Baca Juga
Hal penting lain yang perlu disorot adalah uang tersebut tidak termasuk kompensasi yang mungkin harus dibayar Boeing kepada pihak-pihak yang menuntut perusahaan asal Chicago tersebut. Penerima uang ini juga tidak diminta membatalkan tuntutan mereka.
Chairman dan CEO Boeing, Dennis Muilenburg, mengatakan Boeing tidak akan melupakan kecelakaan yang terjadi. Ia berharap santunan ini bisa membantu mengurangi beban keluarga korban.
"Kami di Boeing sangat menyesal atas kehilangan tragis nyawa manusia pada dua kecelakaan yang terjadi, dan nyawa-nyawa yang hilang tersebut akan terus ada di hati dan pikiran kami selama tahun-tahun ke depan. Para keluarga dan orang-orang tercinta dari para penumpang memiliki simpati terdalam dari kami, dan kami harap bantuan awal ini dapat membantu memberikan mereka kenyamanan," ujar CEO Boeing.
Kecelakaan pesawat Boeing diduga karena ada kesalahan dalam software mereka. Pesawat Boeing 737 MAX pun masih dilarang terbang di berbagai negara dan pihak perusahaan mengaku berusaha mendapatkan kembali kepercayaan publik.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Warga AS Masih Takut Naik Boeing 737 Max
CEO Boeing Dennis Muilenburg telah mengumumkan Boeing 737 MAX sudah selesai memperbarui software mereka yang malfungsi.
Izin penerbangan pesawat pun sedang dipersiapkan setelah berbulan-bulan pesawat dicekal banyak negara, termasuk negara asalnya: Amerika Serikat (AS).
Sayangnya, optimisme CEO Boeing tidak dirasakan warga AS. Berdasarkan survei terbaru, sebagian besar dari mereka memilih menahan diri naik Boeing 737 MAX hingga beberapa bulan, dan ada pula yang tak mau lagi naik pesawat tersebut.
Dilaporkan Business Insider, 41 persen warga AS baru kau terbang dengan Boeing 737 MAX jika sudah teruji aman sebanyak enam bulan, 11 persen akan menunggu empat sampai enam bulan, lalu 10 persen menyebut tiga bulan, sementara delapan persen tidak pernah mau naik Boeing 737 MAX.
Hasil itu berdasarkan survei UBS terhadap 1.000 lebih responden. Peneliti menyebut kabar negatif mengenai Boeing, serta fakta  pesawat dikandangkan hampir tiga bulan dan sorotan media membuat masyarakat khawatir.
"Jadi mungkin tidak mengejutkan sekitar 70 persen warga AS memiliki keraguan untuk memesan penerbangan pada pesawat itu," ujar pemimpin analis aerospace UBS, Myles Walton.
Valuasi Boeing juga jatuh hingga USD 50 miliar karena imbas tragedi jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX. Akan tetapi pihak UBS dan Wall Street tetap yakin dengan performa Boeing di masa depan.
UBS memprediksi saham Boeing juga tidak akan terperosok lebih dalam. Kehadiran izin penerbangan oleh otoritas penerbangan AS juga dipandang sebagai kabar baik untuk jangka pendek.
Advertisement
Ada Faktor Politik di Balik Kembali Terbangnya Boeing 737 MAX?
 American Airlines menunda sedikit lebih lama rencana untuk menerbangkan kembali Boeing 737 MAX. Hal ini dilakukan untuk meninjau kembali pembaharuan aspek keselamatan dari pesawat tersebut. Selain itu, CEO American Airlines, Doug Parker mengatakan kembalinya 737 MAX tergantung pada faktor-faktor politik yang ada.
Pesawat Boeing 737 MAX ini terpaksa harus dikandangkan karena telah terjadi dua kecelakaan fatal yang menelan korban hingga menelan 346 nyawa yang terjadi di Indonesia pada Oktober dan Ethiopia pada Maret.
Dilansir dari laman CNBC, grounding telah membuat Boeing terpaksa membatalkan ribuan penerbangan dan membuat penjadwalan operator untuk tetap bisa memenuhi permintaan perjalanan pada puncak libur musim panas.
Dengan adanya kejadian ini, Boeing juga telah mencoba mengembalikan kepercayaan pelanggan dan masyarakat penerbangan dengan cara menyelesaikan perbaikan perangkat lunak setelah tragedi tersebut. Namun sayangnya, apa yang dilakukannya belum juga disetujui oleh para regulator salah satunya Federal Aviation Administration (FAA).
"Ada perbaikan perangkat lunak mutlak yang hampir disertifikasi, namun sayangnya mereka tidak kunjung mengatakan hal tersebut dalam waktu terdekat," ujar Parker.
"Sertifikasi sesungguhnya akan terjadi karena mungkin adanya faktor politik, karena saya pikir FAA tidak akan memutuskan ini sendirian," tambahnya.