Tekan Potensi Kebocoran, Pemerintah Diminta Perbaiki Struktur Cukai Rokok

Kebijakan tarif cukai rokok dinilai masih memiliki celah yang berpotensi merugikan negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Sep 2019, 15:30 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2019, 15:30 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan tarif cukai rokok dinilai masih memiliki celah yang berpotensi merugikan negara.  Karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan ini.

"Perlu perbaikan-perbaikan aturan, sebab masalah ini menyangkut kepentingan publik. Pemasukan negara dari cukai harus maksimal untuk pembiayaan-pembiayaan bagi kepentingan masyarakat. Misalnya pembangunan infrastruktur, pembiayaan fasilitas kesehatan masyarakat dan lainnya,"tegas Pemerhati Kebijakan Publik Agus Wahyudin di Jakarta Jumat (20/9/2019).

Dia menilai, pemerintah perlu melakukan penelitian dan investigasi mengenai potensi kebocoran dalam penerimaan cukai.

 

"Pemerintah perlu melakukan investigasi dengan melibatkan pihak berwenang. Hal itu tentunya juga akan mempersempit ruang bagi pihak-pihak yang akan berlaku curang,"tegasnya.

Lembaga  seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Agus, perlu dilibatkan untuk melakukan kajian dan rekomendasi kepada pemerintah terkait struktur tarif cukai rokok.

Senada dengan Agus, Aktivis Antikorupsi Danang Widiyoko menilai, proses pembuatan kebijakan harus transparan. "Akuntabilitasnya perlu di dorong supaya lebih transparan,"paparnya.

Menurut mantan Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch ini, dalam masalah kebijakan cukai,  aspek pencegahan penting melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK). "KPK perlu masuk untuk melakukan perhitungan,  untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi saya kira ini bagian pencegahan KPK bias turut memberikan masukan. Peran strategis KPK penting untuk ini,"katanya.

Struktur tarif cukai rokok saat ini dinilai memiliki banyak celah yang menyebabkan pendapatan negara tidak optimal. Salah satunya akibat perusahaan rokok besar  yang masih bisa membayar cukai rokok yang lebih murah. 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

KPK Diminta Turun Tangan

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Bisnis Abdillah Ahsan menilai, KPK perlu membuat kajian tentang kebijakan struktur tarif cukai rokok untuk mengukur peluang penerimaan negara. Kebijakan saat ini tidak efisien dan tidak konsisten dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi potensi penerimaan negara.

Dia mencontohkan, dari penyederhanaan golongan tarif saja, penerimaan negara seharusnya bisa bertambah hingga Rp 7,4 triliun per tahun. “Jumlah ini sangat banyak. KPK semangat mengadakan OTT untuk kasus-kasus Rp 5 miliar, ini ada potensi hilang Rp 7,4 triliun karena kebijakan yang tidak efisien,” tukas Abdillah.

Padahal, dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai pembangunan baik infrastruktur maupun sumber daya  manusia. Abdillah berharap keterlibatan KPK dalam kajian kebijakan tarif cukai rokok mampu mendorong pemerintah membuat kebijakan yang berkeadilan.

Saat ini, kebijakan tarif cukai rokok diatur oleh PMK 146/2017 yang lantas direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Berbagai kajian menunjukkan ketentuan tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan industri rokok besar untuk membayar tarif cukai pada golongan rendah. Akibatnya, penerimaan negara tidak optimal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya