Industri Kecil Dukung Penggabungan Tarif Cukai Rokok

Pemerintah diminta segera melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.

oleh Fitriana Monica Sari diperbarui 16 Sep 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2019, 10:00 WIB
Ilustrasi Pabrik Rokok
Proses pelintingan sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah industri rokok di Kediri, Jatim. Saat ini tinggal 75 industri rokok yang bertahan akibat tarif cukai tembakau naik setiap tahunnya. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) meminta pemerintah melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.

"Kami masih berpijak pada usulan percepatan penggabungan (batasan produksi sigaret kretik mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM)," kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto dalam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (16/9/2019).

Saat ini, kata dia, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.

 

Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal, tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60 persen ketimbang golongan 1.

Selanjutnya, Formasi juga meminta agar persentase kenaikan tarif cukai antara golongan 1 dan 2 harus sama.

"Kenaikan dalam batas kewajaran, sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi," tegas Heri.

Di segmen SKT, Formasi meminta adanya penggabungan tarif SKT golongan 1, serta mempertahankan besaran tarif dan batasan produksi rokok pada golongan 3, yakni Rp 100 per batang, dan di bawah 500 juta batang per tahun.

"Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung,"paparnya.

Selain meminta empat hal tersebut, Formasi juga mengapresiasi pemerintah yang telah mampu menurunkan peredaran rokok ilegal.

“Di sisi lain kami juga meminta perhatian pemerintah atas maraknya penjualan rokok murah (subsidi) dari grup pabrikan besar yang semakin mengabaikan etika dalam berusaha,” tegas Heri.

   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Cukai Rokok Naik di 2020, Bakal Ada PHK Massal?

Dua Sisi Mata Uang Kebijakan Rokok di Kota Malang
Pekerja di sebuah perisahaan rokok di Malang. Industri rokok daerah ini terus menyusut, sulit berkembang (Zainul Arifin/Liputan6..com)

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan, Pemerintah telah mempertimbangkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dari ketetapan kenaikan cukai rokok 2020.

Oleh sebab itu, pihaknya di sisi lain akan menerapkan tarif teringan pada sigaret kretek tangan (SKT). Jenis SKT ialah rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana.

Sedangkan sigaret sendiri ialah rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas.

"Tapi pasti dengan average 23 persen itu sigaret kretek pada prinsipnya akan diberikan tarif yang teringan. Sigaret kretek tangan ya," ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).

"Jadi kalau ditanya tarif cukai naik nggak takut ada PHK? Itulah kenapa kita memberi perlakuan yang lebih ringan terhadap SKT," lanjut dia.

Pihaknya pun menerangkan, Pemerintah telah mempertimbangkan sejumlah aspek atas kenaikan cukai rokok itu, termasuk didalamnya karena pada tahun ini belum dikenaikan kenaikan.

"Sebenarnya itu tadi, bahwa harus dipahami bahwa kenaikan ini hitung-hitunganya adalah dua tahun karena tahun 2019 itu tidak naik," tegasnya  

Kenaikan Cukai 23 Persen Beratkan Industri Rokok

Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai, keputusan Pemerintah menaikan cukai rokok rata-rata 23 persen dan harga jual eceran (HJE) 35 persen memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan menyatakan keputusan yang dilakukan Pemerintah ini juga tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri terkaitan cukai rokok.

"Selama ini, informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai dikisaran 10 persen, angka yang moderat bagi kami meski berat," kata Henry di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).

Perlu diketahui, bila cukai naik rokok 23 persen dan HJE naik 35 persen di 2020 maka industri harus setor cukai dikisaran Rp 185 triliun, mengingat target cukai tahun ini Rp 157 triliun, belum termasuk Pajak Rokok 10 persen dan Ppn 9,1 persen dari HJE.

"Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami!," tegasnya.

Henry menyatakan, masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal. Saat cukai naik 10 persen saja peredaran rokok ilegal demikian marak, dengan kenaikan cukai 23 persen dan kenaikan HJE 35 persen dapat dipastikan peredaran rokok ilegal akan semakin marak. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya