Rhenald Kasali: CEO Harus Bisa Bedakan Resesi dengan Disrupsi

Disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Okt 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2019, 15:00 WIB
Pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali merilis buku baru dengan judul The Great Shifting, Sabtu (21/7/2018).
Pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali merilis buku baru dengan judul The Great Shifting, Sabtu (21/7/2018).

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengingatkan agar pelaku usaha dan BUMN bisa membedakan ancaman resesi dengan disrupsi. Terlebih saat sejumlah unicorn mulai diuji di pasar modal dan beralih dari angel investor ke publik.

“Tahun lalu, 12 unicorn global menguji nyali di NYSE walaupun totalnya rugi USD 14 miliar. Setelah itu berita buruk terhadap Uber membuat harga sahamnya anjlok,” jelas dia, Kamis (17/10/2019).

“Ancaman resesi, kali ini menimpa negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan pasar ekspor. Indonesia mungkin sedikit terganggu, tetapi tak sebesar Singapura atau Thailand yang benar-benar mengandalkan ekspor. Sedangkan ancaman disrupsi, bisa lebih berbahaya, khusus bila CEO menggunakan cara-cara lama dan terlena,” papar dia.

Ia menambahkan disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi dan mengakibatkan sumber-sumber pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.

“Saat ini tak ada lagi pendapatan dari penjualan koran dalam industri surat kabar. Mie instan terancam Gofood. Kantor-kantor cabang bank masih dipertahankan kendati sudah jarang nasabah yang datang. Kelak, kalau kendaraan beralih ke mobil listrik, bagaimana nasib SPBU atau pompa bensin?. Belum lagi model bisnis yang mengandalkan kendali atas seluruh sumber daya yang digantikan platform yang efisien,” tambah dia.

Kendati begitu, ia mengatakan disrupsi lebih mudah diatasi ketimbang resesi karena kendali ada di tangan CEO. Karena itulah ia mengingatkan agar CEO menggunakan cara-cara baru, ubah sudut pandang dan jangan asal membeli teknologi, lalu sudah merasa telah melakukan transformasi digital.

“Saat ini mulai banyak CEO yang tertarik berinvestasi pada startup milik anak muda. Namun agak terganggu dengan ancaman resesi, berita-berita buruk tentang ancaman PHK yang terjadi di sejumlah platform seperti Uber dan Buka lapak dan cara pandang lama. Start up itu bersifat expansif, sedang pada fase pertumbuhan. Metric-nya adalah growth dan matching quality. Sedangkan korporasi metric-nya adalah ratio keuangan yang mencerminkan keuntungan dan efisiensi,” kata dia.

Kasus-kasus itu harus dilihat case by case. “Betul Startup ini masih dalam tahap pertumbuhan dan banyakyang belum punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan, namun sudah berani IPO. Ini yang mengakibatkan nasib mereka terpuruk. Problem-nya adalah model bisnis. Lalu juga ada yang tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara harga murah yang diinginkan pasar atas jasa-jasanya dengan keinginan vendor yang tak mau diberi margin rendah. Ketidakmampuan mengekola ketigany bisa berakibat platform semakin ditinggalkan. Namun ini tak terjadi oada semua startup,” jelas dia.

Para CEO kini dituntut untuk memahami cara kerja baru. Tak cukup bermodalkan metric lama yang dipelajari di business school pada era tahun 80-90an. “Kalau tidak pelaju usaha kita akan semakin diserang asing secara proxy menggunakan platform dari jauh kan kita hanya menjadi penonton saja sambil menyalahkan resesi,” dia menandaskan.

Saksikan video di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya