Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) terus mendorong pembangunan infrastruktur melalui skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Hal itu dilakukan agar tidak menghabiskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Riset Centre of Reformon Economics (Core), Piter Abdullah mengatakan, pemerintah memang tidak mungkin secara terus-menurus mengandalkan APBN untuk membiayai infrastruktur. Sehingga, perlu melibatkan pihak-pihak swasta untuk membantu pembiayaan.
"Nah fokus kita bagaimana maksimalkan peran dari swasta. Kalau ada swasta berarti ngomonggin ada dua, mau atau mampu?" kata Piter dalam diskusi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Piter mengatakan selama ini justru banyak pihak-pihak swasta yang justru protes dikarenakan tidak dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur. Dia memandang, keterlibatan swasta hanya diberikan pada pihak-pihak terkait saja.
"Tapi masalahnya sejauh mana swasta kita mampu? Yang ada yang itu lagi, itu lagi, dan itu lagi," imbuh dia.
Di samping itu, Piter juga mengungkapkan persoalan besar yang menghambat peran swasta untuk terlibat membangun infrastruktur. Salah satunya adalah kendala pembiayaan.
"Pembangunan infrastruktur butuh biaya besar sementara persoalan utama di swasta bahkan di perekonomian tidak punya uang," pungkasnya.
Reporter : Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Proyek Konstruksi Didominasi BUMN, Pengusaha Swasta Protes
Pelaku usaha swasta memprotes pelaksanaan proyek pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebab, perusahaan pelat merah alias BUMN masih mendominasi.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta," kata Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar, dalam diskusi, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11).
Berdasarkan peraturan, lanjut dia, BUMN memang telah diinstruksikan untuk menggarap proyek-proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar. Dengan demikian, swasta diharapkan bisa ambil bagian.
Sayangnya, proyek konstruksi dengan nilai di bawah Rp 100 miliar pun masih dikuasai oleh anak usaha BUMN. "Benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa," ungkap dia.
Selain itu, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta sebagai sub kontraktor pun menurutnya masih ada kendala. Salah satunya terkait keterlambatan pembiayaan.
"Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan," imbuhnya.
Advertisement