Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta keseriusan pemerintah untuk memfinalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Aturan ini dianggap bisa mempersempit ruang gerak dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundering.
Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae kecewa lantaran tak mengetahui bagaimana kelanjutan RUU tersebut. Sebab, pelaku TPPU kerap memakai pecahan uang tunai bernilai besar dalam melakukan kejahatannya.
"Jadi ya kita sih menyesalkan, pekerjaan kita menjadi semakin berat. Salah satu isu yang berat buat kita itu ngejar-ngejar duit cash. Duit cash itu kan enggak dalam sistem," ujar dia di Depok, Jawa Barat, Jumat (28/2/2020).
Advertisement
Baca Juga
Sebagai informasi, salah satu poin yang diajukan dalam RUU ini terkait penetapan batas maksimal transaksi tunai Rp 100 juta.
Dian melanjutkan, kehadiran undang-undang baru tersebut diharapkan dapat memaksa masyarakat bisnis maupun masyarakat biasa untuk masuk ke dalam satu sistem keuangan.
"Tujuannya banyak sekali. Ini untuk memperkuat sistem keuangan, untuk membikin ekonomi kita lebih efisien, bermanfaat juga untuk pemberian kredit, dan macam-macam lah," tuturnya.
"Transaksi juga lebih aman, menghindari uang palsu. Banyak sekali alasannya yang sangat positif dari ini," dia menambahkan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengalaman
Berdasarkan pengalamannya sebagai intelijen keuangan, ia banyak sekali menemukan modus kejahatan pencucian uang dengan menggunakan uang tunai yang disebar dalam berbagai cara. Oleh karenanya, ia memohon agar RUU pembatasan transaksi uang kartal bisa segera dinaikan menjadi sebuah aturan yang sah.
"Makanya kalau ini tidak dikejar oleh undang-undang semakin susah. Karena kalau orang mindahin duit cash itu kan macem-macem lah modusnya. Seenggaknya kalau ada aturannya orang jadi susah kan tuh kalau mau money politic," pungkasnya.
Advertisement