Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik Fathudin Kalimas, mengatakan sudah saatnya pembuat kebijakan meregulasi produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) di Indonesia. Hal ini untuk menghindari kesimpangsiuran informasi dan menekan penyalahgunaan produk HPTL.
Sejumlah kajian ilmiah dari lembaga penelitian independen menyatakan bahwa produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, adalah opsi yang lebih rendah risiko. Pasalnya, produk-produk tersebut memiliki zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya yang lebih rendah daripada rokok.
Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang berlandaskan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif atau yang dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Ketiadaan regulasi ini dikhawatirkan dapat merugikan banyak pihak, terutama perokok dewasa dan masyarakat umum.
Advertisement
Saat ini regulasi terkait produk HPTL hanya sebatas mengatur tarif cukai, namun tidak mengatur terkait produknya.
“Kendati sekarang ada regulasi yang mengatur HPTL, namun regulasi ini adalah rezim cukai, bukan mengatur produk HPTLnya. Kebutuhan terhadap regulasi mengatur HPTL tidak lain sebagai sarana perlindungan hukum yang mesti disediakan oleh pemerintah,” kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (24/3/2020).
Regulasi tersebut diharapkan meliputi standar produk, batasan penjualan khusus bagi segmen pengguna dewasa berusia 18 tahun ke atas, dan lainnya.
“Penyediaan instrumen kebijakan bertujuan untuk memastikan hak dan kewajiban serta menjamin hak-hak para subjek hukum, dalam konteks ini produsen (industri) dan konsumen,” jelas Fathudin saat dihubungi wartawan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Contoh Negara Lain
Dalam membuat regulasi terkait produk HPTL, pemerintah dapat mencontoh beberapa negara lain yang sudah lebih cekatan.
Salah satunya Selandia Baru yang telah membuat rancangan undang-undang (RUU) amendemen untuk rokok elektrik dan produk bebas asap lainnya, termasuk produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik atau vape, tembakau yang dikunyah (chewing tobacco), dan tembakau hirup (snuff). RUU amandemen tersebut dibahas di parlemen sejak awal Maret 2020.
Beberapa poin penting dalam RUU amandemen tersebut diantaranya adalah produk tembakau alternatif hanya boleh dijual kepada konsumen umur 18 tahun ke atas dan adanya regulasi terhadap produk tembakau alternatif yang mengatur produk ini secara spesifik, yang dibedakan dengan aturan rokok.
Salah satu perbedaan tersebut ialah pengadopsian peringatan kesehatan tekstual untuk produk tembakau alternatif yang menekankan pada sifat nikotin yang adiktif. Sebaliknya, rokok menggunakan peringatan kesehatan bergambar. Praktik yang sama sebelumnya juga sudah dilaksanakan oleh pemerintah Inggris Raya.
Fathudin juga menjelaskan bahwa pembentukan regulasi produk HPTL tidak hanya memenuhi prinsip perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap konsumen, tetapi juga dapat memberikan kepastian usaha bagi industri HPTL.
“Regulasi yang dibentuk, selain berorientasi pada perlindungan konsumen juga diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, bukan hanya terhadap industri berskala besar, tapi juga pada industri berskala UMKM,” pungkasnya.
Selain regulasi, Fathudin juga mendorong pemerintah untuk melakukan kajian ilmiah terhadap produk HPTL, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. Hal itu bertujuan untuk memberikan informasi yang akurat dan tepat terhadap produk HPTL kepada masyarakat, terutama perokok dewasa.
“Selama ini, riset-riset mengenai produk HPTL masih dilakukan secara parsial dan mandiri oleh lembaga-lembaga riset. Alangkah baiknya jika pemerintah juga menginisiasi riset yang dilakukan secara konsorsium dengan melibatkan banyak pihak dan lintas sektor (pemangku kepentingan), termasuk Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan,” tutupnya.
Advertisement