Tangani Corona, DPR Ingatkan Pemerintah Soal Kemampuan Bayar Utang

DPR mengingatkan pemerintah untuk memperhitungkan kemampuan pembayaran utang

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 20 Apr 2020, 09:45 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2020, 09:45 WIB
Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Yohan mengingatkan pemerintah untuk memperhitungkan kemampuan pembayaran utang dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Peringatan tersebut dilayangkan komisi anggaran tersebut menyusul kebijakan pemerintah yang baru saja menerbitkan tiga seri obligasi global (global bond) berdenominasi dolar Amerika Serikat (USD) dengan total nilai USD 4,3 miliar atau setara Rp 112 triliun (kurs Rp 16.000 per dolar AS)

Global bond tersebut nantinya akan menjadi salah satu sumber pendanaan tambahan belanja yang disiapkan pemerintah untuk penanganan dan pemulihan dampak pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) senilai Rp 405 triliun.

Penerbitan global bond dipecah menjadi tiga seri yaitu USD 1,65 miliar dengan tenor 10,5 tahun dan imbal hasil (yield) 3,9 persen, USD 1,65 miliar dengan tenor 30,5 tahun dan yield 4,25 persen. dan USD 1 miliar bertenor 50 tahun dan yield 4,5 persen.

“Pemerintah perlu memperhatikan profil utang termasuk kemampuan bayar dengan berbagai pendekatan terhadap rasio utang yang sehat, baik utang jangka pendek atau jangka panjang (tenor 50 tahun). Apakah sehat atau justru akan membebani anggaran negara di kemudian hari,” ujar Ahmad Yohan saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (20/4/2020).

Menurut Yohan, pemerintah semestinya tidak hanya melihat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)/ loan to GDP ratio yang masih di bawah 60 persen sebagai indikator bahwa situasi keuangan pemerintah masih sehat. Pemerintah juga harus menghitung rasio utang terhadap pendapatan negara sebagai parameter riil untuk melihat kemampuan negara sebagai debitur.

Menurut Yohan, Rasio Utang terhadap PDB merupakan model formulasi yang diterapkan Dana Moneter Internasional dan sudah menuai banyak kritikan. Sebab, PDB tidak merupakan perhitungan output seluruh unit usaha barang dan jasa dalam suatu negara selama satu periode waktu tertentu, sehingga tidak mencerminkan kondisi dana tunai sesungguhnya.

Padahal, jika melihat dari sisi penerimaan negara yang didominasi pendapatan pajak terjadi kekurangan (shortfall) dari target tahun anggaran 2019. Defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan juga masih lebar. Dengan demikian, jika dilihat dari sisi penerimaan, negara bisa jadi tidak memiliki kemampuan membayar seluruh kewajibannya (solvable).

“Bukan kita tidak setuju pemerintah berutang, tapi profil utang juga perlu dilihat dari berbagai pendekatan agar lebih solvable. Jangan sampai kita mengobral yield tinggi pada pemegang obligasi, hanya untuk menarik utang besar, tapi bermasalah ke depan dalam hal kemampuan membayar,” tegas Yohan.

 

Dana Cadangan

Sri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Feb 2019 di Jakarta, Rabu (20/2). APBN 2019, penerimaan negara tumbuh 6,2 persen dan belanja negara tumbuh 10,3 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan Pandemic Bond yang diterbitkan pemerintah merupakan jenis investasi yang terletak below the line. Artinya, dana ini akan digunakan sebagai cadangan negara untuk menekan dampak Covid-19. Selain itu, surat utang ini diluncurkan untuk menjaga ketahanan ekonomi dan sistem keuangan domestik.

Pemerintah masih memilih skema peruntukkannya, baik diinvestasikan atau pembiayaan badan usaha milik negara (BUMN) melalui penyertaan modal negara (PMN).

“Kami selalu menyarankan, agar peruntukkan global bond harus benar-benar menyentuh sektor-sektor ekonomi yang dapat benar-benar tumbuh dan padat karya selama masa pandemi, agar peruntukkannya lebih efektif dan tepat sasaran,” tegas Yohan.

Dengan demikian, penyerapan utang akan lebih produktif mendorong perekonomian secara konkret. Selama ini, DPR juga menyetujui banyak PMN kepada BUMN dari APBN, namun masih perlu dievaluasi dampaknya pada pertumbuhan riil ekonomi.

“Jangan sampai cuma mengalir ke sektor padat modal. Oleh sebab itu DPR juga akan mengawasi struktur peruntukkan pandemic bond ini,” Yohan menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya