New Normal, Pedagang Warteg Tak Pakai Masker Bakal Kehilangan Pelanggan

Akan banyak pelaku usaha konvensional yang beralih ke dunia digital pada situasi new normal dalam masa penyebaran wabah virus corona saat ini.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 19 Mei 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2020, 12:00 WIB
20170131-Sidang Ahok-Jakarta-Warteg
Penutupan jalan saat Sidang Ahok membuat pedagang warteg di Jalan RM Harsono kehilangan pelanggannya. (Liputan6.com/Muslim AR)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, tak memungkiri bahwa akan banyak pelaku usaha konvensional yang beralih ke dunia digital pada situasi new normal dalam masa penyebaran wabah virus corona saat ini.

Namun, ia menambahkan, masih ada beberapa pelaku usaha yang tetap bertahan secara offline mengikuti kebutuhan. Oleh karenanya, patuh pada protokol kesehatan dinilai menjadi kunci bagi pengusaha untuk bisa memenangkan persaingan saat situasi new normal.

"Hanya mereka yang melakukan inovasi meningkatkan prosedur kesehatan yang akan memenangkan persaingan," ungkap Piter kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).

Dengan begitu, ia menilai dunia usaha harus menyesuaikan semua kegiatan operasinya dengan kebutuhan new normal.

"Contoh sederhana, para pedagang makanan seperti warteg nantinya harus benar-benar memperhatikan kebersihan dan tertib melakukan SOP kesehatan. Termasuk menggunakan masker dan sebagainya," imbuhnya

"Kalau mereka tidak melakukan itu, mereka akan kehilangan pelanggan," Piter mengingatkan.

Dianggar Terlalu Dini

Antisipasi Virus Corona di Stasiun Gambir
Calon penumpang kereta api mengenakan masker saat berada di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (31/01). Dalam rangka pencegahan Virus Corona, PT Kereta Api Indonesia (persero) melakukan sosialisasi kepada penumpang dengan membagi-bagikan masker di stasiun Gambir. (merdeka.com/Imam Buhori)

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira menilai pemerintah masih terlalu dini dalam menerapkan skema new normal di tengah masa penyebaran wabah virus corona (Covid-19).

Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menekan angka kematian dan pasien terdampak akibat corona. Jika itu berhasil dilakukan, negara disebutnya baru bisa memulai tahap new normal.

"Idealnya pemerintah belajar dari Vietnam. Ketika kurva sudah flat dan angka kematian 0 baru lockdown dilonggarkan. Disitu pelaku usaha dan konsumen akan recovery lebih cepat," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).

"Jadi jangan tanggung dengan indikator kesehatan yang tidak jelas," Bhima menekankan.

Bhima menyatakan, potensi biaya kesehatan yang naik akibat pelonggaran yang belum pada saatnya juga perlu dicermati. Terlebih saat ini biaya iuran BPJS Kesehatan juga telah meningkat.

"Biaya ini kan ditransfer ke masyarakat juga dalam bentuk kenaikan iuran BPJS kesehatan. Jadi ada biaya kesehatan yang perlu dipikirkan pemerintah ketika melonggarkan PSBB," imbuh dia.

 

Masyarakat Ragu

Wuhan Tes Massal Corona
Warga mengenakan masker menunggu dalam barisan untuk tes virus corona di lingkungan di Wuhan, provinsi Hubei, Jumat (15/5/2020). Tes massal yang ditargetkan dalam 10 hari ini akibat adanya pasien Virus Corona baru di Wuhan, setelah sebulan lebih tidak ada laporan kasus baru. (Hector RETAMAL/AFP)

Di sisi lain, sebagian masyarakat saat ini juga dianggapnya menjadi ragu untuk kembali beraktivitas lantaran khawatir akan keselamatan diri.

"Khususnya ini terjadi pada kelas menengah dan atas yang kontribusi pengeluarnya mencapai 83 persen dari total pengeluaran nasional. Mereka mau belanja takut ada virus," kata Bhima.

Kekhawatiran tersebut dinilai wajar lantaran berpotensi semakin melumpuhkan perekonomian nasional. "Gelombang kedua bisa lebih bahaya. Akan lebih mahal biaya ekonomi dan kesehatan," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya