Perlu Adanya Perubahan Kebijakan untuk Mengatasi Ahli Fungsi Lahan

Pemerintah sedang menggagas Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan di eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

oleh Reza pada 03 Jul 2020, 13:25 WIB
Diperbarui 03 Jul 2020, 13:20 WIB
Dewan SDA
Pemerintah sedang menggagas Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan di eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Liputan6.com, Jakarta Dalam pemerintah saat ini dan dengan dipicu oleh Pandemi Covid 19, dan ramalan ke depan FAO tentang kondisi sulit pangan global, sekarang sedang menggagas Pengembangan Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan di eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Hal itu sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Mengawalinya, sebuah diskusi virtual Pembahasan Tinjauan Perspektif Keilmuan dalam rangka penyempurnaan dan penajaman implementasi rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat dan rencana pemulihan gambut untuk Proyek Strategis Nasional tersebut telah dilakukan oleh Kemen LHK pada 19 Juni 2020. 

Namun, ada beberapa uraian yang diperlukan untuk perubahan kebijakan. berikut penjelasannya:

  1. Belum optimal kinerja K/L yang terkait produksi pangan / beras, karena belum adanya satu blue print pertanian pangan/beras jangka panjang yang dirumuskan dan disepakati bersama oleh K/L terkait (people support what they help create)
  2. Sudah saatnya Negara menyepakati satu dari dua pilihan kebijakan dasar model produksi beras ke depan yaitu antara: (a) kebijakan seperti yang berjalan sekarang, produksi beras kita dihasilkan oleh banyak petani subsisten berlahan sempit (berbasis pertanian rakyat, 50 % penduduk terlibat produksi beras), atau (b) kebijakan bahwa kebutuhan produksi pertanian pangan beras untuk seluruh penduduk mampu dihasilkan oleh sesedikit mungkin dari penduduk, yang berarti daerah irigasi kita harus dengan sawah petakan (plot) besar/luas yang sesuai dengan mekanisasi pertanian sejak olah lahan, tanam, penyiangan, sampai panen, pengeringan, penggilingan hingga pemasaran berasnya (sebutlah pertanian pangan beras komersial dengan pertanian beririgasi yang modern). 
  3. Kendala peningkatan produksi beras yang paling besar dan merugikan adalah alih fungsi sawah beririgasi ke non pertanian, karena investasi jaringan irigasi yang sudah dibangun dengan biaya besar dan waktu yang lama (contoh pembangunan DI baru 10.000 ha perlu 12 tahun sampai panen stabil) dalam beberapa bulan bisa hilang percuma. Gambarannya, Daerah Irigasi eks PLG 165.000 ha misalnya, yang direncanakan selesai 3 tahun dan bisa panen stabil 5 tahun, pada saat 5 tahun ke depan akan terjadi alih fungsi 5 x 150.000 ha = ¾ juta ha, jauh lebih besar dari tambahan DI eks PLG seluas 165.000 ha. 
  4. Diperlukan seri data Neraca Pangan/beras tahunan di tiap Provinsi dan level Nasional untuk optimasi logistik penyediaan pangan/beras, dan sebagai masukan penting & mendasar dalam merumuskan strategi peningkatan produksi pangan/beras jangka panjang, termasuk kebutuhan infrastruktur pertanian beririgasi yang lebih tepat sejalan dengan kondisi neraca beras yang diinginkan dan potensi sumber daya lahan dan air yang tersedia di setiap provinsi. 
  5. Indonesia sebagai Negara agraris luas yang memiliki iklim tropis dan ekosistem spesifik sebagai modal penting, seyogianya bersikukuh pada basic policy pembangunan yang berbasis sumber daya alam terbarukan yaitu sektor pertanian pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan biodiversity sebagai mesin utama pertumbuhan.

Visi Pertanian Pangan

Anggota Dewan SDA, Ir. M. Napitupulu Dipl HE mengatakan semua paham kapasitas produksi beras adalah fungsi: (i) luas sawah beririgasi dan tadah hujan (Lith), (ii) intensitas pertanaman / tahun (Ip), iii) hasil panen/ ha (Hp) dan (iv) kehandalan proses penyiapan tanam, paska panen sampai pemasaran (Ppp).

Rumusnya Pr = f (Lith, Ip, Hp, Ppp), sehingga untuk meningkatkan produksi beras kita perlu meningkatkan ke empat faktor produksi tersebut di atas. Pada hal tiap tahun terjadi alih fungsi sawah 150.000 ha/tahun; Ip terus merosot di bawah 150 % karena menurunnya debit andalan aliran sungai akibat kerusakan hutan pada DAS, ditambah kondisi daerah irigasi (DI) yang rusak dan sering kebanjiran. Hp per ha sangat tergantung kecermatan olah tanah dan masukan saprodi yang terkendala petani subsisten / gurem yang miskin. Ppp sampai pemasaran beras juga masih kurang efisien karena kurangnya modal petani.

"Lantas, bagaimana ke depan? tampaknya pola produksi beras dengan mengandalkan petani gurem berlahan sempit inilah yang perlu kita ubah agar keempat faktor penentu produksi tersebut dapat dioptimalkan serta sekaligus dapat memberi peluang terlepasnya petani dari belenggu kemiskinan," kata Anggota Dewan SDA Ir. M. Napitupulu Dipl HE. 

Syamsoe’oed Sajad beropini ‘pertanian subsisten sudah tidak sesuai lagi dalam konstelasi ekonomi modern’. Diusulkan adanya pengelompokan puluhan petani gurem untuk mencapai luas garapan lebih dari 10 ha sehingga memudahkan pembagian air, penggarapan tanah, pengendalian hama, penyaluran subsidi saprodi, menaikkan produksi dan membisniskan produk gabah ke Bulog.  

"Menarik dari ide pengelompokan 10 ha tersebut di atas, dihubungkan dengan posisi labil para petani gurem kita, maka terlihat jalan pintas untuk menaikkan dengan drastis produksi pertanian pangan Indonesia: yaitu dengan menjadikan semua petani menjadi petani komersial yang tergabung dalam pertanian koperasi usaha kecil menengah (UKM) dengan modal bersama lahan garapan minimal 1 petak kuarter, luas lebih 10 ha dengan petak sawah yang terkonsolidasi agar sesuai untuk penggunaan alsintan (mekanisasi)," kata Ir. M. Napitupulu Dipl HE. 

Pilar Pertanian Beririgasi Modern. Gagasan strategi nasional mencapai surplus besar dalam 10 tahun ke depan adalah mengembangkan secara bertahap ratusan ribu “Koperasi UKM Pertanian Pangan Komersial dengan Mekanisasi” untuk mengusahakan 7 - 9 juta ha lahan beririgasi. Sistem pertanian modern dengan paradigma baru ini menjadi solusi: -penyediaan pangan, -mencegah alih fungsi sawah, -meningkatkan efisiensi penggunaan air (hemat air irigasi yang bisa dialihkan ke air untuk rumah tangga, kota dan industri), dan -mengurangi kesenjangan pendapatan para petani (pemerataan). Kita tahu Kemen. PU-PR, guna meningkatkan pelayanan DI eksisting, telah menerapkan Strategi Modernisasi Irigasi dengan lima pilar: i. Ketersediaan Air, ii. Infrastruktur Irigasi, iii. Pengelolaan Irigasi, iv. Kelembagaan Pengelola Irigasi, dan v. SDM berbasis pengetahuan; yang tentu saja belum sepenuhnya dapat meningkatkan ke empat faktor produksi tersebut di atas.

Ke depan guna optimalisasi upaya peningkatan produksi beras, diusulkan agar strategi lima pilar modernisasi irigasi, dapat dikembangkan bersama oleh Kemen. Pertanian dan Kemen. PU-PR menjadi strategi Lima Pilar Pertanian Beririgasi Modern (PBM) meliputi: P1. Ketersediaan Air, P2. Infrastruktur Irigasi, P3. Sawah dengan petak besar cocok untuk mekanisasi budidaya padi, P4. Pengelolaan Irigasi didukung Kelembagaan dan SDM, dan P5. Usaha Tani Pertanian Pangan Komersial. 

Dengan demikian dua program percepatan peningkatan produksi beras menjadi sbb: pertama Intensifikasi Pertanian pada DI eksisting 7 juta ha, dengan Pola Pertanian Pangan Koperasi UKM.

Strateginya membangun Lima Pilar Modernisasi Pertanian Beririgasi tersebut di atas. Kedua: Ekstensifikasi Pertanian membuka DI Baru dengan Pola Pertanian Pangan UKM. Strateginya membangun Lima Pilar PBM di luar P. Jawa meliputi: P1: Penyediaan air irigasi; P2: Pembangunan infrastruktur irigasi baru; P3: Pencetakan sawah baru petakan besar yang sesuai mekanisasi pertanian untuk para UKM dengan konsesi lahan 30-80 ha; P4: Mempersiapkan sistem pengelolaan irigasi; P5: Membangun sistem konsesi UKM pertanian mekanisasi padi komersial terpadu, mulai tanam, panen sampai siap dipasarkan.  

Berapa luas DI baru yang perlu dibangun bertahap dalam 10 tahun ke depan? Dengan persamaan Neraca Beras Supply < , = , > Demand, kebutuhan DI baru dapat dihitung untuk berbagai skenario: proyeksi pertumbuhan penduduk, konsumsi beras / kapita / tahun, prediksi luas alih fungsi sawah, prediksi intensitas tanam dan hasil panen per ha dihubungkan dengan kebutuhan DI baru yang perlu dibangun untuk mencapai surplus beras misalnya 5 juta ton.

"Di mana lokasi DI baru /kawasan peternakan/perikanan? Ada dua kemungkinan: (i) Mengatur puluhan ribu konsesi lahan luasan kecil 6 ha sampai 80 ha pada areal yang dicadangkan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 4,1 juta ha, diberikan kepada badan usaha perorangan dalam rangka pemerataan kesempatan berusaha; (ii) Mengubah konsesi sawit lama yang habis waktunya menjadi konsesi UKM sawah beririgasi 30 ha - 80 ha. Untuk pengganti konsesi sawit yang dihentikan perlu dibuka lahan reklamasi rawa baru seperti pengalaman di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimanatan," kata Ir. M. Napitupulu Dipl HE. 

 

(*)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya