Sri Mulyani Blak-blakan soal Utang dan Defisit APBN

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memberikan jawaban atas pandangan dari beberapa fraksi mengenai defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pembiayaan utang di 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Sep 2020, 20:31 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2020, 16:45 WIB
Sri Mulyani pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali
Sri Mulyani pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali. Dok: am2018bali.go.id

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memberikan jawaban atas pandangan dari beberapa fraksi mengenai defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pembiayaan utang di 2021. Hal itu dia sampaikan dalam rapat Paripuran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

"Perihal Defisit dan Pembiayaan utang dapat kami sampaikan bahwa dampak krisis kesehatan kepada perekonomian membuat banyak negara melakukan berbagai langkah kebijakan extraordinary, termasuk Indonesia," kata dia, Selasa (1/9).

Pada awalnya, defisit APBN 2020 direncanakan sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah dalam lima tahun terakhir. Namun demikian, upaya penanganan Covid-19 beserta dampaknya mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pelebaran defisit sampai dengan 6,34 persen dari PDB.

Trajectory perkembangan Pandemi Covid-19 di Indonesia maupun berbagai negara lain memperlihatkan ketidakpastian yang sangat tinggi, bahkan di beberapa negara yang sebelumnya dianggap telah berhasil mengendalikan penyebaran virus ternyata harus mengalami gelombang kedua. Ketidakpastian ini sangat mungkin masih berlanjut tahun depan, sehingga penerimaan pajak maupun PNBP masih akan mengalami tekanan.

"Kebutuhan APBN untuk bisa lebih fleksibel merespon kondisi ketidakpastian tersebut masih akan memerlukan ruang fiskal besar dari sumber pembiayaan," kata dia.

Sejalan dengan amanat UU Nomor 2 tahun 2020, defisit APBN tahun 2021 direncanakan untuk turun menjadi 5,5 persen dari PDB. Angka defisit yang masih relatif tinggi ini merupakan pilihan objektif sebagai upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional, ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih.

"Besaran defisit juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3 persen PDB di tahun 2023," jelas dia.

Di samping itu, pemerintah sependapat dengan pandangan fraksi-fraksi DPR bahwa pengelolaan utang negara harus dilaksanakan dengan cermat dan hatihati. Pembiayaan utang dari pasar keuangan berupa penerbitan SBN tetap dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (global).

Sebagai bagian dari langkah extraordinary dalam pembiayaan APBN 2020, Pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam rangka pembiayaan penanganan dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Bank Indonesia telah memberikan dukungan melalui pembelian SBN di pasar perdana dan berperan sebagai backstop/last resort.

Selain itu, koordinasi Pemerintah dengan Bank Indonesia juga dilanjutkan melalui kesepakatan berbagi beban (burden sharing) yang bersifat oneoff. Dalam penerbitan SBN di dalam negeri untuk tahun 2021, Pemerintah akan merumuskan kesepakatan bersama dengan Bank Indonesia dengan tetap menjaga kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Belanja Melonjak, Defisit APBN Sentuh Rp 330 Triliun pada Juli 2020

Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Juli 2020 mencapai Rp 330,2 triliun atau 2,01 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang naik 79,5 persen atau tercatat sebesar Rp 183,9 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengugkapkan, defisit Juli 2020 terjadi akibat penerimaan negara tak sebanding dengan belanja negara pemerintah. Di mana pendapatan negara hanya mencapai Rp 922,2 triliun, sedangkan posisi belanja negara meningkat mencapai Rp 1.252,4 triliun seiring dengan pogram pemulihan ekonomi nasional.

"Ini menggambarkan bahwa APBN kita mengalami tekanan belanja naik akibat covid dan oleh karena itu dampaknya terhadap defisit APBN akan sangat besar yaitu di dalam Perpres sampai akhir tahun di estimasi sebesar 6,34 persen dari GDP sampai dengan akhir Juli defisit 2 persen dari GDP," kata dia dalam APBN Kita, di Jakarta, Selasa (25/8/2020).

Bendahara Negara ini merincikan, penerimaan negara yang mencapai Rp922,2 triliun tersebut berasal dari pajak sebesar Rp711 triliun, PNBP Rp208,8 triliun, sedangkan hibah sebesar Rp2,5 triliun.

Sedangkan untuk belanja negara yang mencapai Rp1.254,4 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat yang terdiri dari kementerian/lembaga (K/L) dan belanja non K/L sebesar Rp793,6 triliun, dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp458,8 triliun.

Dengan realisasi tersebut, maka defisit anggaran APBN 2020 hingga Juli 2020 tercatat 2,01 persen atau setara Rp330,2 triliun terhadap PDB. Adapun dalam Perpres 72 Tahun 2020 defisit APBN diizinkan hingga mencapai Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6 persen

"Jadi sampai dengan akhir Juli defisit adalah 2 persen dari GDP," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya