Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai realisasi keputusan burden sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah kadaluarsa.
Mengingat kebijakan penting ini baru diimplementasikan pada Agustus lalu, saat kondisi ekonomi Indonesia sudah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
"Kesepakatan burden sharing itu terlambat karena baru sepakat di bulan Agustus. Artinya empat bulan Setelah Kita mengalami kasus covid. Empat bulan dalam hal ini sangat terlambat," jelas dia kepada Merdeka.com, Sabtu (12/9/2020).
Advertisement
Menurutnya burden sharing akan tepat dilakukan sejak pandemi Covid-19 mulai memasuki wilayah Indonesia pada Maret 2020. Sehingga dinilai bisa mengurangi beban bunga utang pemerintah.
"Sekarang itu yang dipermasalahkan, yang menjadi hambatan di Pemerintah adalah utang. Walaupun seharusnya tidak menjadi masalah. Karena adanya koordinasi yang kuat antara pemerintah dan bank sentral. Jika dari awal (burden sharing)," jelas dia.
Piter menambahkan, keterlambatan realisasi kebijakan burden sharing juga mengindikasikan ketidakmampuan para menteri dalam mengantisipasi dampak langsung dari pandemi Covid-19. "Artinya tidak punya sense of crisis dalam merespon dampak krisis," jelasnya.
Oleh karena itu, dia menilai wajar apabila Presiden Jokowi berulang kali marah atas kinerja buruk para pembantunnya di masa kedaruratan kesehatan ini.
"Dan itulah yang menjadi viral ya kemarahan Jokowi berapa waktu terakhir, yang menekankan para menterinya harus ada kemampuan sesnse of crisis yang sama," tutupnya.
Merdeka.com
Skema Burden Sharing Dapat Kritik, Beban Negara Semakin Berat
Kondisi fiskal negara saat ini dalam keadaan buruk. Salah satu indikatornya adalah rasio pajak hingga Juli 2020 berada di angka 8,4 persen dari sebelumnya 13,3 persen pada 2009. Selain itu Skema burden sharing juga membuat beban negara semakin berat.
"Fiskal kita ini buruk sekali, menurun sampai 8,4 persen rasio pajak dari sebelumnya 13,3 persen," kata Direktur Manajemen Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan dalam diskusi virtual Forum Tebet (Forte) bertajuk Pembentukan Dewan Moneter: Skenario Merancang BI menjadi Kasir Pemerintah & Penalangan Bank Bermasalah, Jakarta, Jumat (11/9/2020).
Di sisi lain rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak terus meningkat. Sampai Juli 2020 bunganya sudah 25,7 persen akibat penerimaan negara dari pajak menurun. Artinya, pemerintah tidak memiliki dana untuk membayar utang.
Lalu pemerintah mengambil jalan untuk menjual surat berharga negara (SBN) yang dibeli bank sentral langsung dari pasar primer dengan skema burden sharing. Menurut Anthony hal ini menunjukkan pemerintah sudah melakukan bailout Bank Indonesia. Sebab skema burden sharing hanya nama lain dari negara mencetak uang.
"Ini tuh cuma akal-akalan, (burden sharing) ini sebenarnya pemerintah cetak uang," kata dia.
Apalagi skema pembelian SBN di pasar primer dilanggengkan dalam Perppu Nomor 2 tahun 2020. Dalam aturan tersebut juga BI tidak dibatasi untuk membeli surat utang negara (SUN).
Selain itu, mekanisme burden sharing ini kata Anthony menjadi satu-satunya sistem yang dipakai di dunia. Dunia internasional tidak mengenal skema ini. Sehingga menurutnya burden sharing berpotensi menimbulkan masalah. Sebab bunga dari utang pemerintah harus dikembalikan lagi ke pemerintah.
"Burden sharing ini berpotensi menjadi masalah, bunga dari utang dikembalikan lagi ke pemerintah," kata dia.
Dia menambahkan, biaya krisis ini nantinya akan menjadi beban sepanjang masa. Utang negara akibat krisis ekonomi tahun 1998 pun dilunasi pemerintah dengan jenis utang baru.
"Biaya krisis moneter itu akan kita tanggung sepanjang masa. Bunganya sepanjang masa karena utang pemerintah itu tidak dibayar tapi paling dibayar dengan cara utang yang lain," katanya mengakhiri.
Advertisement