Nicolas Cage Pernah Habiskan Rp 2,2 T demi Tengkorak Dinosaurus hingga Kastil Eropa

Aktor yang pernah berpenghasilan tinggi ini pernah menghabiskan Rp 2,2 triliun untuk hal-hal yang eksentrik.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Sep 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2020, 21:00 WIB
Nicholas Cage
Nicolas Cage (Carlo Allegri/AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Aktor Nicolas Cage pernah menjadi aktor berpenghasilan tinggi di Hollywood, mencapai USD 150 juta (Rp 2,2 triliun). Namun, kekayaan yang dimilikinya tidak bertahan lama.

Cage menyia-nyiakan uang hanya untuk serangkaian pembelian yang mahal dan terkesan eksentrik, di mana akhirnya menghadapi penyitaan pada beberapa properti miliknya.

Melansir laman CNBC, Rabu (23/9/2020) Cage pernah memiliki 15 tempat tinggal di seluruh dunia, termasuk rumah di California dan Las Vegas dan pulau terpencil di Bahama. 

Dia juga membeli serangkaian barang yang lebih aneh, termasuk kuburan setinggi 9 kaki, gurita, kepala kerdil yang menyusut, komik Superman seharga USD 150.000 (Rp 2,2 miliar).

Adapula tengkorak dinosaurus berusia 70 juta tahun, yang kemudian harus dia kembalikan ke Pemerintah Mongolia.

Namun ternyata semua hal itu mempengaruhi kekayaannya di kemudian hari. Meski, apa yang benar-benar membuat Cage merugi secara finansial bukanlah barang-barang eksentriknya, tetapi portofolio real estate yang terlalu banyak.

Memang, Cage melewati periode di mana dia hanya melakukan meditasi 3 kali sehari dan membaca buku tentang filsafat. Hingga mendapati dirinya mencari tempat-tempat yang telah dia pelajari dan baca selama ini. “Saya mulai mengikuti mitologi, dan saya menemukan properti yang berkaitan dengan itu,” jelas dia.

“Misi cawan suci, membuat saya melakukan penelusuran di berbagai wilayah, kebanyakan di Inggris, tetapi juga beberapa tempat di Amerika,” lanjut Cage.

Selama ekspedisi, Cage membeli beberapa real estate, termasuk dua kastil Eropa, yang ia beli masing-masing seharga USD 10 juta (Rp 147 miliar) dan USD 2,3 juta (Rp 33,9 miliar), dan perkebunan pedesaan senilai USD 15,7 juta (Rp 231,8 miliar) juta di Newport, Rhode Island.

Dia juga membangun perpustakaan pribadi. “Kamu membaca buku, dan di dalamnya ada referensi ke buku lain, lalu kamu membeli buku itu. Kemudian kamu lampirkan referensi itu. Bagi saya itu semua tentang di mana cawan itu? Apa itu disini? Apakah itu di sana?,” tegas dia.

Meski mengalami kehancuran finansial, Nicolas Cage tidak menyesali semua pembeliannya.  “Anda memiliki investasi yang baik dan investasi yang buruk. Investasi yang baik berasal dari minat pribadi dan kesenangan sejarah saya yang jujur,” kata dia.

Salah satu barang yang tak disesali dibelinya adalah “Action Comics No. 1,” komik pertama yang menampilkan Superman, yang dia beli seharga USD 150.000 (Rp 2,2 miliar).

Bagi Cage, keinginan membeli banyak real estate juga berasal dari masa kecil. Tumbuh di luar Beverly Hills dengan ayah yang seorang profesor, dia hidup sederhana. 

“Saat saya naik bus ke sekolah, beberapa anak laki-laki yang lebih tua pergi ke sekolah memakai Maseratis dan Ferrari,” jelas dia kepada Times.

Kemudian di usia muda dia mulai menginginkan hal lebih. “Paman saya [Francis Ford Coppola] sangat murah hati. Saya akan mengunjunginya pada musim panas, dan di saat musim panas itulah, saya ingin menjadi dia,” jelas Cage.

Dia sini, dia mengaku ingin memiliki rumah mewah. "Itu membuatku bersemangat. ”

Reporter: Erna Sulistyowati

 

Tonton Video Ini

Kisah Sang James Bond Filantropi, Sumbang Harta Rp 118,4 Triliun Sebelum Wafat

Ilustrasi Miliarder. Don Unsplash
Ilustrasi Miliarder. Don Unsplash

Miliarder Chuck Feeney (89 tahun) pendiri toko bebas bea di bandara, Duty Free Shoppers mempunyai cara berbeda dalam menikmati kekayaan.

Alih-alih membeli barang super mewah, dia menghabiskan sebagian besar kekayaan senilai USD 8 miliar atau setara Rp 118,4 triliun (kurs Rp 14.800 per dolar AS) untuk disumbangkan. Bahkan dia lah yang mempelopori ide Memberi Saat Hidup (Giving While Living).

"Kita belajar banyak. Kita akan melakukan beberapa hal secara berbeda, tapi saya sangat puas. Saya merasa sangat senang telah menyelesaikan ini," kata Feeney seperti dikutip Forbes, Jumat (18/9/2020).

Selama 4 dekade terakhir, miliarder Feeney tercatat telah berdonasi lebih dari USD 8 miliar untuk beramal melalui yayasan miliknya, Atlantis Philanthrophies. Pada 2012, ia diperkirakan telah menyisihkan dana USD 2 juta untuk uang pensiun bersama istri.

Dengan kata lain, ia sudah menyumbang 375 persen lebih besar dari total kekayaan bersihnya saat ini. Pemberian itu pun dilakukan tanpa mau diketahui orang lain.

Semua donasi diberikan secara anonim alias tak bernama. Di saat banyak dermawan kaya justru membuat publikasi besar-besaran untuk sumbangan mereka. Feeney berusaha keras untuk merahasiakan pemberiannya.

Karena sikap ini dan aksi kampanye filantropi klandestin berkeliling dunia, Forbes pun memanggilnya "James Bond of Philanthropy".

Tapi Feeney memang datang dari bawah. Pria yang mengumpulkan kekayaan dengan menjual barang-barang mewah kepada turis dan meluncurkan pembangkit listrik General Atlantic ini tinggal di sebuah apartemen sederhana di San Fransisco, bak asrama milik mahasiswa baru.

Kemurahan hatinya telah memenangkan simpati dari miliarder dunia lain seperti Bill Gates dan Warren Buffet, ketika mereka bersama-sama meluncurkan Giving Pledge pada 2010.

Ini adalah sebuah kampanye yang mengajak orang paling sejahtera di dunia untuk memberikan setengah kekayaan sebelum dijemput ajal.

"Chuck (Feeney) adalah inspirasi saya. Dia merupakan teladan bagi kita semua," ujar Warren Buffett.

Sepanjang hidupnya, Feeney telah memberikan banyak uang untuk beberapa masalah besar. Seperti membawa perdamaian di Irlandia Utara, melakukan modernisasi terhadap sistem perawatan kesehatan di Vietnam, hingga menghabiskan USD 350 juta untuk menyulap Roosevelt Island dari kawasan terabaikan di New York menjadi pusat teknologi.

Feeney merupakan tipe dermawan yang enggan menunggu untuk beramal setelah kematian, atau menyiapkan dana warisan. Dia selalu mencari alasan di mana dirinya dapat memberi dampak besar dan melakukan segalanya.

"Saya melihat sedikit alasan untuk menunda sumbangan ketika begitu banyak kebaikan bisa dicapai dengan tujuan yang bermanfaat. Selain itu, jauh lebih menyenangkan memberi saat hidup ketimbang Anda sudah mati," ungkap Feeney.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya