Pengusaha Usul Rumah Non Subsidi Menengah Bebas Pajak BPHTB

REI merinci usulan jangka pendek penyelamatan cash flow perusahaan properti di tengah pandemi covid-19. Salah satunya Pajak BPHTB

oleh Nurmayanti diperbarui 02 Okt 2020, 19:54 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2020, 19:54 WIB
Kredit Rumah. Dok Unsplash
Kredit Rumah. Dok Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok mengusulkan langkah penyelamatan jangka pendek untuk menjaga cash flow bisnis properti di masa pandemi. 

Usulan REI,  dalam bentuk pembebasan PPN dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk rumah non sederhana menengah.

REI merinci usulan jangka pendek penyelamatan cash flow perusahaan properti di tengah pandemi covid-19. Usulan terbagi menjadi 4 kategori, yakni:

Pertama, usulan untuk Pajak pusat, REI meminta sewa Penurunan tarif PPh Final Sewa Tanah dan Bangunan sebesar 10 persen menjadi 5 persen selama masa pandemi atau untuk jangka waktu antara 12-18 bulan.

“Seperti di mall kita kena PPH 10 persen kita minta usul minta turun ke 5 persen karena kondisi di internasional saja market itu finalnya antara 3-6 persen,” kata Paulus dalam diskusi online MarkPlus dengan tema Property Industry Perspective, Jumat (2/10/2020).

Selanjutnya, REI meminta penurunan tarif PPh Final Jual Beli Tanah & Bangunan sebesar 2,5 persen menjadi 1 persen selama masa pandemi atau untuk jangka waktu antara 12 - 18 bulan.

Kemudian, penurunan tarif PPN sebesar 10 persen menjadi 5 persen selama masa pandemi atau untuk jangka waktu antara 12-18 bulan.

“Kemarin dari rapat kita sudah sampaikan untuk PPN ini kami mengharapkan bukan hanya rumah sederhana bersubsidi saja yang bisa bebas PPN dan BPHTB tapi kita juga untuk non sederhana menengah atas juga bisa dibebaskan selama pandemi covid-19 ini,” pintanya.

Usulan kedua, untuk Pajak/ retribusi daerah REI usulkan pengurangan 50 persen dari PSB yang seharusnya dibayar, dan penurunan BPHTB dari 5 persen menjadi 2,5 persen, khusus rumah sederhana menjadi 1 persen.

Dengan kelonggaran waktu pembayaran PBB dan BPHTB selama masa pandemi atau sampai dengan 9-12 bulan dari batas maksimal pembayaran PBB.

Usulan ketiga, terkait Operational cost diantaranya subsidi dari Pemerintah kepada PLN untuk pembayaran beban minimal pemakaian listrik dan pembayaran 50 persen penggunaan listrik. Sekaligus, khusus rumah subsidi, ada penambahan anggaran untuk pemasangan jaringan listrik rumah.

“Subsidi dari Pemerintah kepada PDAM untuk pembayaran beban minimal pemakaian air dan pembayaran 50 persen penggunaan air. Dengan kelonggaran batas waktu pembayaran biaya PLN dan PDAM sampai dengan 6-9 bulan dari batas waktu pembayaran untuk pemakaian di bulan Juli s/d Desember 2020,” ujarnya.

Demikian usulan keempat, REI juga meminta agar pembelian properti baik perorangan maupun badan usaha yang sumber dananya belum tercatat dalam SPT dikenakan pajak sebesar 5 persen. Dan selanjutnya dapat dimasukkan ke dalam SPT untuk pelaporan pajak tahun berikutnya.

Tonton Video Ini


Hore, Sri Mulyani Beri Subsidi Bunga untuk KPR dan Kredit Kendaraan

BTN Salurkan Lebih dari 735 Ribu Rumah Bersubsidi
Suasana Perumahan Griya Samaji, Cieseng, Bogor. (merdeka.com/Arie Basuki)

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terus berupaya meningkatkan daya beli masyarakat di tengah Corona. Diantaranya dengan memperluas program subsidi bunga kepada debitur Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan debitur kendaraan bermotor.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 138/PMK.05/2020 yang merupakan perubahan PMK 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga Atau Subsidi Bunga Margin Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Beleid revisi PMK Nomor 85/2020 itu diteken Sri Mulyani pada tanggal 28 September 2020 lalu.

Dalam PMK anyar ini, Bendahara Negara menambah jumlah jenis debitur yang bisa mengajukan insentif subsidi bunga/Margin. Yakni, debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan debitur kredit kendaraan bermotor (KKB).

Seperti pada Pasal 7 PMK 138/2020, Sri Mulyani mensyaratkan subsidi bunga KPR diberikan kepada debitur perbankan atau perusahaan pembiayaan sampai dengan tipe 70. Kemudian, subsidi KKB bagi debitur untuk usaha produktif, termasuk yang digunakan untuk ojek dan/ atau usaha informal.

Seperti ketentuan PMK sebelumnya, terdapat lima syarat yang harus dipenuhi oleh debitur KPR dan debitur KKB untuk memperoleh manfaat fasilitas subsidi bunga dari PMK anyar ini.

Pertama, plafon kredit maksimal Rp 10 miliar. Lalu, mempunyai baki kredit/pembiayaan sampai dengan 29 Februari 2020. Ketiga,tidak termasuk dalam daftar hitam nasional untuk plafon kredit di atas Rp50 juta.

Kemudian, memiliki kategori performing loan lancar kolektibilitas 1 atau 2 per 29 Februari 2020. Dan kelima, harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.

Dalam hal Debitur memiliki akad Kredit/Pembiayaan di atas Rp500 juta sampai dengan Rp 10 miliar rupiah harus memperoleh restrukturisasi dari Penyalur kredit atau pembiayaan sebelum memperoleh restrukturisasi.

Debitur yang memiliki plafon Kredit/Pembiayaan kumulatif melebihi Rp10 miliar juga tidak dapat memperoleh Subsidi Bunga/Subsidi Margin.

Adapun stimulus PMK 138/2020 bagi debitur kredit KPR atau kredit kendaraan bermotor dengan plafon kredit setara atau di bawah Rp 500 juta, diberikan subsidi bunga sebesar 6 persen selama 3 bulan pertama dan 3 persen selama 3 bulan berikutnya. Ketentuan ini efektif per tahun atau disesuaikan dengan suku bunga yang setara.

Sementara, untuk debitur yang plafon kreditnya mencapai Rp 500 juta hingga Rp10 miliar diberikan subsidi bunga sebesar 3 persen selama 3 bulan pertama dan 2 persen selama 3 bulan berikutnya efektif per tahun atau disesuaikan dengan suku bunga yang setara.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya