Mayoritas Merugi, Hanya 0,1 Persen Perusahaan yang Untung Besar Selama Pandemi

Sebanyak 40,6 persen responden mengaku kondisi perusahaannya sangat merugikan di masa pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Nov 2020, 12:40 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2020, 12:40 WIB
Jakarta Kembali Macet
Suasana kendaraan terjebak macet di Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (9/6/2020). Masa PSBB Transisi yang memperbolehkan karyawan di perkantoran kembali bekerja menyebabkan ruas jalan Ibu Kota kembali macet dan semrawut saat jam pulang kerja. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Hasil kajian Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6 persen responden mengaku kondisi perusahaannya sangat merugikan di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4 persen responden menjawab merugikan.

"Teman-teman Barembang Ketenagakerjaan melakukan kajian ditemukan persepsi responden terhadap kondisi perusahaan ketika pandemi Covid-19, 40,6 persen menjawab sangat merugikan," kata Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, saat rapat kerja bersama dengan Komisi IX DPR RI, secara virtual di Jakarta, Rabu (25/11).

Menaker Ida menambahkan, meski ada responden yang menyatakan sangat merugikan, namun masih ada 11 responden yang kondisi perusahaan tidak berpengaruh sama sekali akibat pandemi Covid-19.

Sementara, 0,8 persen responden mengatakan menguntungkan dan 0,1 persen menyatakan sangat menguntungkan. "Jadi ternyata kalau dilihat datanya ada perusahaan yang masih untung ada yang sangat menguntungkan 0,1 persen," katanya.

Di sisi lain, hasil kajian juga menunjukan terdapat beberapa jenis pekerjaan yang paling banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Adapun yang pertama adalah jenis pekerjaan agen dan perantara penjualan dan pembelian yakni mencapai 10,1 persen.

Kedua disusul jenis pekerjaan pengemudi mobil dan motor yang tercatat sebanyak 7,32 persen. Dan ketiga yakni pekerjaan buruh pertambangan dan konstruksi dengan persentase sebesar 6,7 persen

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

88 Persen Perusahaan Terdampak Pandemi Covid-19, Sebagian Besar Merugi

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hasil survei Kementerian Ketenagakerjaan mengemukakan, sekitar 88 persen perusahaan terdampak pandemi selama enam bulan terakhir pada umumnya dalam keadaan merugi. Bahkan disebutkan 9 dari 10 perusahaan di Indonesia terdampak langsung pandemi Covid-19

Data tersebut berdasarkan survei yang dilakukannya melalui online, termasuk melalui telepon dan email terhadap 1.105 perusahaan yang dipilih secara probability sampling sebesar 95 persen dan margin of error (MoE) sebesar 3,1 persen pada 32 provinsi di lndonesia.

“Kerugian tersebut umumnya disebabkan penjualan menurun, sehingga produksi harus dikurangi,” kata Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Bambang Satrio Lelono di Jakarta, Selasa (24/11/2020).

Berdasarkan survei yang dilakukan Kemnaker bekerja sama dengan INDEF ini, penurunan permintaan, produksi, dan keuntungan umumnya terjadi pada perusahaan UMKM, yaitu di atas 90 persen. Perusahaan yang terdampak terbesar, yakni penyediaan akomodasi makan dan minum, real estate dan konstruksi.

Meski demikian, sambungnya, sebagian besar perusahaan tetap memperkerjakan pekerjaanya. Hanya terdapat 17,8 persen perusahaan yang memberlakukan pemutusan hubungan kerja, 25,6 persen perusahaan yang merumahkan pekerjanya dan 10 persen yang melakukan keduanya.

“Respons perusahaan ini dikarenakan hal tersebut satu-satunya jalan untuk efesiensi di tengah masa pandemi,” kata Bambang

Bambang Satrio menambahkan setelah pandemi, keterampilan teknologi paling dibutuhkan, antara lain terkait penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, dan penguasaan teknologi industri untuk diversifikasi produk. Implikasinya, baik bagi pihak pemerintah dan swasta perlu menyediakan pendidikan dan ketrampilan yang sarat dengan penguasaan teknologi.

“Implikasi setelah masa pandemi mengisyaratkan bahwa work form home/teleworking menjadi pilihan utama bagi perusahaan, sehingga menjadi lebih fleksibel meskipun efesiensi jumlah tenaga kerja dan pengurangan upah menjadi tidak bisa dihindarkan,” ucapnya.

Bambang menyatakan, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi mempermudah transisi tersebut di era pandemi. Untuk merespons situasi pandemi, sebagian perusahaan telah merasakan berbagai kebijakan pemerintah, khususnya insentif perpajakan sebanyak 19,8 persen dan jaminan sosial ketenagakerjaan dan sejenisnya sebanyak 18,5.

Meski demikian, katanya, banyak pula yang belum merasakan bantuan pemerintah di tengah pandemi ini, yakni 41,18 persen. Hal itu menandakan pemerintah perlu bergerak membantu perusahaan yang sebagian besar merasakan dampak pandemi tersebut.

6 Rekomendasi

FOTO: Kurangi PHK, Pemerintah Beri Kelonggaran Pegawai di Bawah 45 Tahun
Pegawai pulang kerja berjalan di trotoar Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Pemerintah memberi kelonggaran bergerak bagi warga berusia di bawah 45 tahun untuk mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dalam kesempatan ini, dijelaskan bahwa hasil survei ini juga menyampaikan enam rekomendasi.

Pertama, pemerintah perlu mengidentifikasikan perusahaan yang terdampak lebih detail lagi agar mendapat akses yang lebih luas atas beragam program pemulihan ekonomi khususnya, insentif perpajakan, restrukturisasi pinjaman KUR dan non KUR, subsidi gaji, hingga akses terhadap kartu pra kerja.

Kedua, perlunya pemerintah memberikan perhatian yang lebih bagi perusahaan UMKM yang terdampak pandemi meskipun saat ini pemerintah telah memberikan bantuan dalam bentuk subsidi bunga KUR, restukturisasi pinjaman dan pengurangan pajak.

Ketiga, pemerintah perlu memperluas informasi pasar tenaga kerja yang berorientasi pada jenis pekerjaan, dan perusahaan juga perlu didorong untuk menentukan spesifikasi keahlian yang dibutuhkan agar terinformasikan skills demand secara lebih luas.

Keempat, kebutuhan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan setelah pandemi berkaitan dengan teknologi, baik teknologi informasi maupun teknologi industri. Seperti terkait digital marketing, digital working.

Kelima, dibutuhkan kebijakan dan peraturan yang menjadi landasan flexible working arrangement yang menyangkut jabatan dan jenis pekerjaan tertentu.

Keenam, diperlukan kebijakan yang cukup komprehensif terkait penyatuan beberapa jaminan sosial bagi pekerja, baik terkait pendidikan dan kesehatan, termasuk program untuk masa pandemi yang lebih persisten.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa di tengah pandemi, sebagian besar perusahaan masih beroperasi, tetapi dari sebagian besar perusahaan tersebut mengurangi jam kerja dan menerapkan work from home.

Menurut Tauhid, implikasi ke depan bagi ekonomi dengan situasi pandemi membuat kondisi perekonomian akan berdampak cukup besar bahwa dengan demand, sebagian orang akan bekerja dari rumah.

“Permintaan barang dan jasa sedikit agak mengalami perubahan, ekonomi juga akan berubah mengikuti pola kerja yang selama ini ada, dan juga akan terus berkembang dengan apa yang flexible working arrangement yang saya kira akan menjadi tuntutan ke depan,” kata Tauhid.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya