Masalah Pertanian yang Jadi Sorotan Sepanjang 2020, Apa Saja?

Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan beberapa catatan terkait degan kebijakan Pemerintah Jokowi-Ma'ruf selam periode 2020

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Des 2020, 23:07 WIB
Diterbitkan 31 Des 2020, 17:00 WIB
FOTO: Sektor Pertanian Melesat di Masa Pandemi COVID-19
Petani menanam padi di sawah kawasan Tangerang, Banten, Jumat (7/8/2020). PDB pertanian tumbuh 16,24 persen pada triwulan-II 2020 (q to q), bahkan secara y0y sektor pertanian tetap berkontribusi positif yakni tumbuh 2,19 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan beberapa catatan terkait degan kebijakan Pemerintah Jokowi-Ma'ruf selam periode 2020. Catatan akhir tahun disusun berdasarkan data-data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menyoroti masalah reforma agraria yang kembali menjadi sebuah program strategis nasional di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Alih-alih menjalan reforma agraria, pemerintah justru mengesahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan metode omnibus law, yang mengakibatkan perubahan besar dalam arah kebijakan pembangunan agraria di Indonesia.

“UU Cipta Kerja diketahui memasukkan pasal-pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang sejatinya telah ditunda pengesahannya karena mendapat penolakan besar-besaran. Pasal-pasal tersebut antara lain: Pasal 125-129 tentang pembentukan Bank Tanah, Pasal 129 tentang penguatan Hak Pengelolaan (HPL), dan Pasal 144 tentang kepemilikan orang asing dalam hak milik atas Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing (Sarusun),” paparnya dalam pernyataannya, Kamis (31/12/2020).

Henry juga memberikan catatan khusus terkait masih kurang kuatnya Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang dijadikan sebagai dasar implementasi reforma agraria di pemerintahan saat ini. Beberapa kelemahan di dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 ini antara lain mengenai kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang belum melibatkan para petani dan organisasi petani, baik itu GTRA di tingkat pusat ataupun GTRA di tingkat wilayah

Hal ini berdampak pada tidak teridentifikasi dengan baiknya berbagai konflik-konflik agraria yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat, termasuk juga redistribusi tanah-tanah yang sebelumnya sudah teridentifikasi sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

“Sejak tahun 2014, SPI mengusulkan TORA dan penyelesaian konflik agraria kepada pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK dan Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia dengan total 148 lokasi di 51 Kabupaten/Kota yang tersebar di 17 Provinsi. Usulan TORA dan penyelesaian konflik agraria tersebut sebanyak 106 lokasi berada di bawah wewenang Kementerian ATR/BPN dan 42 lokasi di bawah wewenang KLHK dengan total luas sekitar 543.913 hektare dan terdapat 94.251 kepala keluarga petani. Usulan-usulan tersebut sudah dikirimkan SPI ke kementerian-kementerian dan lembaga negara, namun belum mendapatkan hasil yang diharapkan,” papar Henry.

Konflik Agraria

Henry melanjutkan, tahun 2020 juga masih marak terjadi konflik agraria. SPI sendiri secara aktif melakukan pendataan terhadap kasus-kasus konflik agraria yang mencuat pada tahun 2020. Dari pendataan yang dilakukan oleh SPI, tercatat terdapat 37 kasus konflik agraria yang mencuat sepanjang tahun 2020.

“17 orang mengalami tindak intimidasi dan kekerasan; 38 orang mengalami kriminalisasi ataupun diskriminasi atas hukum; dan 4 orang tewas,” kata Henry.

Salah satu konflik agraria yang menimpa petani SPI adalah kasus penangkapan Junawal, Ketua SPI Kabupaten Tebo, Jambi yang berkonflik dengan PT Lestari Asri Jaya, yang berafiliasi dengan Michelin.

Ketua SPI Tebo, Junawal dikriminalisasi atas tuduhan pembakaran alat berat. Pada tanggal 5 November 2020 dia divonis telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP oleh Pengadilan Negeri Tebo dengan hukuman penjara selama 4 tahun dan 6 bulan.

Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan Jaksa selama 3 tahun dan 6 bulan. Padahal berdasarkan Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) Pasal 30 tidak boleh ada penggusuran dan kriminalisasi ketika konflik sedang ditangani KLHK.

"Perkara saat ini sudah memasuki proses banding di Pengadilan Tinggi Jambi," imbuh Henry.

Dia mengatakan, di penghujung tahun 2020 pada November dan Desember, Presiden Jokowi kembali berinisiatif untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian rapat terbatas kabinet dan rapat koordinasi dengan organisasi gerakan rakyat.

"Inisiatif ini harus diapresiasi, dan kemauan Presiden untuk penyelesaian konflik agraria harus dijalankan lebih teknis mulai awal tahun depan. Lima puluh persen konflik agraria ditargetkan selesai pada tahun 2021, Perpres Reforma Agraria disempurnakan dengan kelembagaan reforma agraria dipimpin langsung oleh Presiden, dan redistribusi kepada petani dan rakyat tak bertanah segera ditunaikan", ujar Henry.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Food Estate

Memanfaatkan Lahan Pertanian dengan Berinovasi di Masa Pandemi
Petani membajak lahan persawahan sebelum ditanami bibit padi di Tangerang Selatan, Jumat (15/10/2020). Lahan pertanian yang terbatas bisa menjadi sektor strategis baru bagi masyarakat Tangsel dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Masalah Perbenihan

Henry menjelaskan, disahkannya UU Cipta Kerja juga berpotensi membawa dampak negatif bagi kebijakan perbenihan di Indonesia. UU Cipta Kerja mempermudah ketentuan terkait pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (UU Hortikultura), terdapat ketentuan bahwa pemasukan benih ke dalam wilayah Indonesia untuk kepentingan komersial hanya diperbolehkan bila tidak dapat diproduksi dalam negeri atau kebutuhan dalam negeri belum tercukupi.

“Ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja, dan jelas akan mengakibatkan terancamnya kedaulatan petani atas benih, karena upaya perlindungan terhadap petani di tingkat nasional semakin diminimalisir. Tidak hanya itu, hal tersebut juga akan semakin mempersulit keinginan pemerintah indonesia untuk mewujudkan 1000 desa mandiri benih yang ditargetkan sejak tahun 2014,” tegasnya.

Dia melanjutkan, selain berdampak pada UU Hortikultura, kebijakan perbenihan di Indonesia juga akan terdampak dengan dihapusnya beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT) pasca disahkannya UU Cipta Kerja. Di dalam UU PVT pada dasarnya terdapat ketentuan mengenai syarat yang ketat terkait perlindungan varietas tanaman, sebagaimana tercantum dalam pasal 11 ayat (2) dan ayat (4). Hanya saja ketentuan ini dihapuskan dalam UU Cipta Kerja.

“Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut, hal ini akan membuat Varietas Transgenik atau Genetic Modified Organism (GMO) akan lebih mudah didaftarkan dan diedarkan di wilayah NKRI. Hal ini akan mengancam varietas lokal yang dibudidayakan petani,” keluhnya.

Nilai Tukar Petani

Pandemi Covid-19 juga memberikan dampak yang serius bagi tata niaga pertanian di Indonesia. Sejak pertama kali dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia pada awal Maret 2020, situasi pandemi Covid-19 mengakibatkan rendahnya serapan produk hasil pertanian. Diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mayoritas diterapkan di perkotaan, seperti di Jabodetabek, Jawa Timur, Banten, dan daerah perkotaan lainnya pada awal sampai pertengahan tahun.

“Kondisi di lapangan juga menunjukkan gambaran yang serupa. Berdasarkan laporan dari petani SPI di Jawa Barat, seperti di Desa Ciaruteun, Kab. Bogor, menyebutkan harga sayuran seperti bayam, kangkung dan caisim mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19. Begitu juga, laporan dari SPI Pasir Datar dan Suka Mulya, Kab. Sukabumi, memang rata-rata harga sayuran seperti wortel, cabai, dan kol mengalami kenaikan, namun, petani di sana belum masih belum mampu menutupi kerugian di bulan-bulan sebelumnya akibat penyerapan sayuran yang rendah,” kata Henry.

Henry megakui, pemerintah pada dasarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya pemerintah telah merangkul BUMN di sektor pangan sebagai penjamin pasar (off taker) agar produksi dari petani dapat diserap.

“SPI menyoroti bahwa hal ini belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya memaksimalkan peran BUMN sektor pangan, bahkan dapat menjadikan koperasi-koperasi petani sebagai penjamin sarana untuk membeli sekaligus memasarkan hasil panen dari petani,” tambahnya.

Food Estate

Pada tahun 2020, pemerintah dalam rangka mengantisipasi pemenuhan pangan di Indonesia khususnya di masa pandemi Covid-19 justru berfokus pada program food estate yang tengah dijalankan di beberapa wilayah Indonesia saat ini. Substansi dari program food estate bertolak belakang dengan upaya mewujudkan ‘Dekade Pertanian Keluarga’.

Henry menjelaskan, Food estate yang disebut-sebut sebagai kegiatan pertanian skala luas, modern, dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial berbasis iptek, modal, organisasi, dan manajemen modern, pada praktiknya akan memberi ruang yang besar bagi korporasi ataupun modal untuk ikut berinvestasi. Keikutsertaan korporasi yang difasilitasi dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Patnership (PPP) akan memperparah ketergantungan pangan Indonesia karena memberikan tanggung jawab soal pangan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

“Selain itu, ditinjau dari aspek perumusan kebijakan, program food estate yang diprakarsai oleh pemerintah tidak memberi ruang bagi petani dan orang-orang yang berada di perdesaan untuk menentukan sistem pangan sendiri, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan terkait setuju atau tidaknya program food estate tersebut dijalankan,” paparnya.

Henry menambahkan, rencana pemerintah dengan mendorong food estate di beberapa wilayah Indonesia ini juga dinilai tidak diiringi dengan pertimbangan yang tepat. Sebelumnya, program food estate juga sudah pernah dicoba di beberapa wilayah Indonesia, seperti Bulungan (2012) dan Ketapang (2013), dan gagal mencapai target-target fantastis yang diharapkan.

 

bantuan Sosial

Kementan Targetkan 8,2 Juta Hektare Sawah untuk 20 Juta Ton Beras
Petani menanam padi di persawahan di kawasan Tangerang, Kamis (3/12/2020). Kementerian Pertanian menargetkan pada musim tanam pertama 2020-2021 penanaman padi mencapai seluas 8,2 juta hektare menghasilkan 20 juta ton beras. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kelembagaan Pangan

Hingga tahun 2020 pemerintah Indonesia masih belum menjalankan mandat dari Undang-Undang Nomor 18 Tentang Pangan, terkait pembentukan Badan Pangan Nasional. Padahal pembentukan Badan Pangan Nasional menjadi sangat relevan, mengingat kompleksnya permasalahan tata kelola pangan di Indonesia.

Kehadiran Badan Pangan Nasional diharapkan dapat mengurai peliknya koordinasi antar kementerian/lembaga yang urus pangan saat ini, keruwetan kebijakan pangan terkait impor maupun ekspor pangan, sampai dengan bagaimana kebijakan jangka panjang mengenai cadangan pangan dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.

“Langkah pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di tengah belum terbentuknya Badan Pangan Nasional juga menjadi catatan SPI. Bersama dengan beberapa lembaga negara lainnya, DKP dibubarkan dengan alasan peningkatan efektivitas dan untuk mencapai rencana strategis pembangunan nasional,” kata Henry.

“Kinerja Bulog selama 2020 juga dinilai belum maksimal. Hal ini mengingat di tengah pandemi dan kendala rendahnya serapan produksi di tingkat petani, Bulog seharusnya dapat memainkan perannya sebagai stock buffer. Pemerintah tampaknya lebih tertarik dengan gagasan food estate sebagai solusi atas permasalahan pangan yang ada,” sambungnya.

Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

Meskipun pandemi Covid-19 tengah melanda seluruh masyarakat di dunia saat ini, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk terus menegosisasikan perjanjian perdagangan bebas.

Henry memaparkan, Indonesia diketahui melakukan ratifikasi berbagai perjanjian perdagangan internasional. Setidaknya terdapat empat perjanjian perdagangan dan investasi yang mulai diberlakukan. Pertama perjanjian dalam proses ratifikasi, kedua perjanjian yang ditandatangani dan ketiga perjanjian yang dinegosiasikan selama tahun 2020.

Diantaranya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), IE-CEPA (Indonesia-EFTA- Comprehensive Economic Partnership Agreement), IA-CEPA (Indonesia-Australia) dan IEU-CEPA (Indonesia-Uni Eropa) dan beberapa perjanjian perdagangan bebas lainnya.

“Terus berjalannya proses perjanjian perdagangan dan investasi bebas yang dilakukan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah masih mengandalkan skema tersebut dalam mendorong perekonomian. SPI berpandangan hal ini justru berpotensi lebih berdampak negatif bagi perekonomian rakyat tentunya petani,” ujarnya.

Disamping itu, Indonesia justru mempermudah aktivitas impor dalam situasi pandami. melalui penghapusan pajak impor (pph 22) selama 6 bulan. Tentu ini kontraproduktif dan mempunyai resiko penularan covid-19 dari aktivitas impor.

Bantuan Sosial Covid-19

Sementara itu, pandemi Covid-19 juga memunculkan tenaga kerja pertanian, dalam artian penganggur baru yang muncul akibat pandemi Covid-19 menjadikan pertanian sebagai pekerjaan baru mereka. Hal ini dapat dilihat dari data ketenagakerjaan yang dipublikasikan oleh BPS per September 2020, dimana terjadi kenaikan jumlah tenaga kerja pertanian dari bulan Februari ke Agustus 2020.

“Kebijakan yang diambil oleh pemerintah antara lain: pemberian bantuan sosial tunai untuk stimulus daya beli dan penambahan modal usaha, maupun bantuan sosial non tunai, pembebasan pajak usaha Koperasi dan UKM. Upaya penguatan usaha khusus koperasi melalui pembiayaan dan juga pinjaman bebas bunga tersebut tentunya patut diapresiasi,” kata Henry.

Akan tetapi, Henry menyampaikan, hal yang menjadi catatan adalah ketika pemerintah mengarahkan agar kebijakan tersebut bertujuan untuk penguatan usaha, khususnya usaha milik petani kecil dan koperasi petani yang baru bergerak, terdapat kendala birokrasi dan persyaratan yang rumit untuk dipenuhi.

“Contohnya: untuk mengakses pembiayaan usaha pertanian, petani kecil maupun koperasi petani diharuskan memiliki agunan atau jaminan. Persyaratan ini tentunya sulit dipenuhi oleh koperasi petani yang baru dibangun ataupun tengah merintis,” tutupnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya