Liputan6.com, Jakarta - Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Fitria Irmi menyebut Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan salah satu produk dari Sandbox 2.0. Sampai Desember 2020, QRIS telah digunakan oleh 6,07 juta merchant yang ada di Indonesia dengan 85,05 persen diantaranya merupakan UMKM.
"QRIS sudah digunakan lebih dari 6 juta merchant yang 85 persennya ini merchant mikro dan kecil," kata Fitria dalam Virtual Seminar LPPI bertema: Dari Regulatory Sandbox ke RegTech, Jakarta, Kamis (4/2).
Baca Juga
Dari sisi transaksi, pada penggunaan QRIS MPM telah digunakan 5,8 juta merchant dengan nilai transaksi Rp 1,2 triliun. Sedangkan pada QRIS CPM yang melibatkan 1.041 merchant, nilai transaksinya Rp 47,83 miliar.
Advertisement
Kata Fitria, ini menunjukkan Sandbox 2.0 telah mendukung inklusi keuangan dan bergeraknya usaha kecil dan mikro meski pandemi Covid-19 sedang berlangsung.
"Ini bukti kontribusi dari sandbox ini, QRIS mendukung keuangan inklusif dan mendukung usaha kecil dan mikro," kata dia.
Saat ini Bank Indonesia sedang melakukan beberapa upaya pengembangan QRIS. Salah satunya upaya agar QRIS bisa juga digunakan lintas negara. Beberapa di antaranya dengan Thailand dan Malaysia.
"Ke depan pengembangan QRIS ini untuk bisa digunakan on delivery, QRIS TTM dan TTS, dan cross border dengan Thailand dan Malaysia," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Soal Atur Fintech, Indonesia Tak Boleh Ikuti Jejak China
Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), Iwan Kurniawan mengatakan perusahaan fintech membutuhkan regulasi yang jelas.
Sebab, belajar dari perkembangan perusahaan peer to peer lending di China, tanpa adanya regulasi, hanya akan melahirkan berbagai skandal.
"P2P di Tiongkok sudah ada sejak tahun 2006. Tapi setelah 10 tahun berjalan tanpa regulasi, hasilnya banyak skandal dan ini beresiko," kata Iwan dalam Virtual Seminar LPPI bertema: Dari Regulatory Sandbox ke RegTech, Jakarta, Kamis (4/2).
Otoritas di China baru mengeluarkan regulasi untuk perusahaan fintech setelah terjadi berbagai skandal. Antara lain fraud dan operasional risk seperti pelarian dana, permasalahan investasi yang buruk dan kredit macet.
Selama dua tahun, 2016-2018 Pemerintah China mengeluarkan beberapa seri kebijakan yang mengatur P2P. Hasilnya, lebih dari 80 persen fintech P2P lending terpangkas daro 6.200 platform P2P lending.
"Hasilnya banyak dari platform yang ada mayoritas buat tutup dan tidak beroperasi lagi," kata Iwan.
Kondisi ini pun jadi bahan pelajaran di Indonesia. Perkembangan perusahaan fintech baru mulai berkembang di tahun 2016 lalu. Namun, regulator telah mengantisipasi keberadaan para perusahaan pembiayaan berbasis teknologi.
Terbukti dengan adanya regulasi Fintech di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 2016. Antara lain POJK Nomor 70 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.
Advertisement
Selanjutnya
Lalu POJK Nomor 23 tahun 2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan. Terakhir POJK No 57 tahun 2020 tentang Securities Crowdfunding.
"Respon di sini diatur dengan baik agar industri yang ada ini tetap sehat," kata Iwan.
Meskipun dalam lima tahun ini, sudah muncul skandal dari P2P lending yang ada di Indonesia. Salah satunya dengan keberadaan perusahaan fintech ilegal atau tak berizin.
Namun hal ini harus diminimalisir agar berbagai dampak negatif tersebut bisa dihilangkan. "Tapi yang penting ini bisa diminimalisir seperti serangan bisnis, cyber crime dan perusahaan fintech ilegal," kata dia mengakhiri.
Â
Anisyah Al Faqir
Merdeka.com