BI Klaim DP 0 Persen Bikin Pengajuan KPR Naik hingga 40 Persen

Kebijakan relaksasi KPR tidak serta merta cukup untuk membantu pemulihan ekonomi nasional.

oleh Andina Librianty diperbarui 07 Apr 2021, 21:26 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2021, 17:30 WIB
Peningkatan KPR Bersubsidi
Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan bersubsidi di Bukit Rancayamaya Residences, Caringin, Bogor, Minggu (14/02/2021). Di awal pandemi Covid-19 mencuat, yakni senilai Rp 17 triliun sepanjang tahun 2020 dengan total unit mencapai 122.000. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengklaim relaksasi uang muka atau down payment (DP) rumah 0 persen membantu mendorong pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) perbankan. Khususnya pengajuan KPR di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang naik hingga 40 persen.

"Khususnya Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), menunjukkan peningkatan yang signifikan dari aplikasi kedit KPR-nya antara 6,5 persen sampai 40 persen secara month to month di Maret 2021," ungkap Direktur Departemen Kebijakan Makroprudential BI, Yanti Setiawan, DALAM Webinar Relaksasi DP 0 Persen Sebagai Senjata Utama Peningkatan Kredit, Rabu (7/4/2021).

Berdasarkan data tersebut, Yanti menilai kebijakan relaksasi rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) untuk kredit pembiayaan properti atau KPR maksimal 100 persen, efektif dalam memulihkan industri properti dan turunannya.

"Ini jadi sinyal positif bahwa kebijakan yang kita keluarkan menjadi stimulus untuk perbankan dalam menyalurkan kredit," sambungnya.

Ia pun berharap industri properti dapat segera tumbuh signifikan di tengah pandemi Covid-19, yang juga menghantam banyak sektor industri lain. Sektor properti di Indonesia saat ini menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja dan melibatkan 174 sektor usaha turunannya.

Kendati demikian, Yenti menilai kebijakan relaksasi KPR ini tidak serta merta cukup untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Menurutnya dibutuhkan sinergi berbagai kebijakan dari pemerintah dan juga otoritas keuangan lain.

"Kami harus mengatakan, tidak ada kebijakan dari otoritas bisa berdiri sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia merupakan suatu pintu untuk melihat sektor-sektor lain," jelasnya.

Di kesempatan yang sama, Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai kebijakan untuk mendorong kredit perbankan yang diluncurkan oleh pemerintah dan otoritas keuangan, termasuk relaksasi rasio LTV/ FTV untuk kredit pembiayaan properti 100 persen, belum akan berdampak optimal ke perekonomian karena pandemi Covid-19 masih ada.

Menurut Piter, kebijakan DP 0% tidak bisa dilihat secara parsial. Melainkan satu paket dengan berbagai kebijakan lain dari pemerintah dan otoritas keuangan agar bisa berdampak pada pertumbuhan kredit bank, dan perekonomian secara umum.

"Karena kebijakan-kebijakan ini harus dilihat dari bagian dari kebijakan pemerintah dan otoritas dalam meningkatkan ketahanan ekonomi kita dalam menghadapi pandemi. Saya mengusulkan kebijakan (DP 0 persen) ini jangan dilakukan dalam jangka pendek, tapi lebih panjang agar bisa memanfaatkan momentum ketika pandemi berakhir nanti," ungkap Piter.

Di lain pihak, meski mengaku optimistis program relaksasi uang muka atau down payment 0 persen produk properti yang diterbitkan BI akan disambut baik oleh masyarakat dan meningkatkan kredit, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, pun masih akan selektif dan bertahap untuk menerapkan kebijakan tersebut.

"Kita lihat dulu untuk developer, kita lihat dulu di mana, konsumennya, bagaimana ketentuan inden, bisa cair 90 persen dan lain-lain. Dari sisi pengembang properti, tidak semua jenis properti cocok dengan DP 0 persen. Sebab, hanya beberapa jenis properti saat ini lebih prospektif ketimbang lainnya. Kami lihat lagi. Kita lebih cenderung untuk rumah tapak dulu. kita lihat perkembangan aturan ini," ucap Mortgage Head Bank BTN Hanafi dalam kesempatan yang sama.

BTN sendiri menargetkan KPR subsidi tumbuh hingga 7 sampai 9 persen. Kemudian untuk non subsidi, pertumbuhan kredit ditargetkan sebesar 4-5 persen. Adapun target penyaluran kredit subdisi sebesar 130 ribu unit, dan non sebesar 24 ribu unit. "Target ini inline dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 4,5 persen hingga 3,5 persen," tambahnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kominfo: Generasi Milenial Dominasi Pengajuan KPR

BTN Targetkan 250 Ribu KPR pada 2021
Aktivitas warga di perumahan subsidi Green Citayam City, Ragajaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/2/2021). Kredit Pemilikan Rumah atau KPR pada 2021 diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, pandemi Covid-19 dinilai harus menjadi momentum bagi generasi milenial untuk menata ulang dan mengevaluasi gaya hidup dan kondisi keuangannya.

Tercatat, generasi milenial dewasa ini sangat akrab dengan financial technology (fintech).

Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Maritim Kemenkominfo Septriana Tangkary membeberkan, sebesar 66,38 persen lender berusia 19-34 tahun dan sebesar 67,19 persen borrower juga berusia 19-34 tahun.

"Berdasarkan data yang ada, generasi milenial dengan usia 26-35 tahun lebih mendominasi pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jadi tidak hanya pengeluaran yang konsumtif, tetapi generasi saat ini sudah memikirkan masa depan dengan melakukan konsumsi yang produktif", ujar Septry dalam keterangannya, Rabu (24/3/2021).

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Sub Direktorat Perekonomian I Kominfo Eko Slamet Riyanto memaparkan, pandemi Covid-19 mendorong penerapan budaya cashless menjadi lebih cepat.

"Berdasarkan data Bank Indonesia, selama bulan Desember saja nilai transaksi uang elektronik meningkat 30,44 persen dengan nilai transaksi digital mencapai Rp 2.775,5 triliun," ujarnya.

Fenomena ini tentu tidak dapat dihindari, namun harus dijadikan wadah beradaptasi untuk mengatur keuangan dengan lebih baik. Generasi milenial bisa melakukan beberapa cara untuk mengatur keuangan di tengah pandemi.

Salah satunya ialah dengan membuat dan gunakan prioritas anggaran berdasarkan besaran nominal bukan dari persentase anggaran dan sesuaikan dengan kewajiban, kebutuhan dan keinginan.

"Bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Bagaimana membedakannya? Mudahnya, keinginan kalau ditunda tidak ada dampak signifikan pada diri kita. Sedangkan kebutuhan kalau ditunda akan berdampak pada kehidupan sehari-hari," ujar Chief Marketing Officer Finansialku.com Mario Agustian Lasut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya