Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dapat mencapai 28 persen di tahun 2030.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya mengatakan, pemerintah telah berkomitmen untuk berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca hingga 314 juta ton 9 tahun mendatang.
Baca Juga
"Hal ini didorong dengan penggunaan EBT, yang mana kita tahu memang tahun ini masih mencapai 11,2 persen dari target 28 persen di tahun 2030," ujar Chrisnawan dalam webinar Bali Menuju Energi Bersih, Rabu (9/5/2021).
Advertisement
Lanjutnya, untuk meningkatkan bauran energi tersebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menyiapkan beberapa langkah.
Pertama ialah penyediaan listrik melalui pembangkit EBT. Kemudian, melakukan penerapan efisiensi energi, menggencarkan penggunaan bahan bakar nabati hingga implementasi co-firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara PLTU.
Lalu, dilakukan pula pemanfaatan kendaraan listrik dan transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih.
Chrisnawan juga menyampaikan potensi sumber daya terbarukan yang dimiliki Indonesia, dimana potensi terbesar berasal dari energi bayu sebesar 249,2 GW dan surya sebesar 207,8 GW.
"Sekarang ini brtambah karena adanya metodologi pengukuran yang lebih baik yaitu menggunakan pos duga air, curah hujan," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Porsi Pembangkit EBT Ditargetkan 48 Persen, Siap Hasilkan 19.899 MW Listrik
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meningkatkan porsi pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi 48 persen atau 19.899 MW.
Hal ini dituangkan dalam draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menyatakan, bahwa angka tersebut meningkat dibanding RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30 persen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, target penambahan pembangkit mencapai 40.967 megawatt (MW) atau 41 gigawatt (GW).
"Kami ingin RUPTL yang sedang disusun saat ini adalah RUPTL yang greener, lebih hijau. Dalam artian, porsi EBT lebih baik daripada versi RUPTL sebelumnya. Perbandingannya, RUPTL yang ada saat ini (2019-2028) hanya merencanakan 30 persen EBT. Sementara yang kita susun saat ini minimum 48 persen," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana melalui siaran pers, Jumat (4/6).
Penyusunan RUPTL ini sejalan dengan target bauran EBT sebesar 23 persen di tahun 2025. Rida juga mengungkapkan berbagai kebijakan "hijau" yang terdapat dalam RUPTL 2021-2030 yang saat ini masih dalam pembahasan.
Kebijakan tersebut antara lain konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT, co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, retirement pembangkit tua, dan relokasi pembangkit ke sistem yang memerlukan.
Sejalan dengan pembahasan RUPTL "hijau" ini, Ditjen Ketenagalistrikan juga tengah merancang template Net Zero Emission (NZE), sebagai perwujudan realisasi komitmen Presiden Joko Widodo pada COP 21 tahun 2015.
"Kita sedang menyusun program, termasuk regulasinya, bagaimana mengurangi porsi pembangkit (fosil) secara natural. Namun yang menjadi penting juga, bagaimana kita memenuhi demand yang diyakini akan naik serta di sisi lain mengurangi operasional pembangkit batu bara dan kemudian menggantikannya. Kita sedang merancang template NZE seperti apa, minimum dari pembangkitan," jelas Rida.
Sebagaimana diketahui, saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 di mana didalamnya terdapat visi mengenai rencana NZE. Untuk mendukung hal tersebut, Ditjen Ketenagalistrikan sedang menyusun perencanaan NZE yang berasal dari sub sektor ketenagalistrikan.
Â
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.comÂ
Advertisement