Awas, Kecurangan di Industri Keuangan Naik Selama Pandemi Covid-19

Hasil survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) tahun 2021 mencatat kecurangan atau fraud terjadi semakin besar di masa pandemi Covid-19.

oleh Tira Santia diperbarui 21 Sep 2021, 13:10 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2021, 13:10 WIB
20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Hasil survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) tahun 2021, sebanyak 71 persen responden menyatakan kecurangan atau fraud terjadi semakin besar di masa pandemi Covid-19.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Hidayat, mengatakan hal itu bisa terjadi, lantaran di masa pandemi covid-19 membuat mobilisasi banyak sumber daya dan sumber dana untuk mendukung bisnis.

Selain itu, inisiatif-inisiatif baru di bidang kesehatan dan usaha dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi menjadi target atau peluang yang menarik untuk para pelaku kecurangan/fraud.

“Berdasarkan survei (ACFE) terkait dengan fraud di masa pandemi yang dilakukan pada akhir Maret dan April 2021 oleh ACFE internasional.  51 persen responden merasa organisasi mereka menemukan lebih banyak fraud ketika pandemi, dan 71 persen lainnya mengatakan level dampak dari fraud yang terjadi juga semakin besar,” kata Ahmad dalam Webinar Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9/2021).

“Oleh karena itu kewaspadaan kita terhadap risiko fraud harus selalu dijaga,” tegasnya.

Kemudian terkait dengan pertanyaan bagaimana program anti fraud berubah dalam menanggapi risiko dan keadaan seputar pandemi. Kata Ahmad, lebih dari 80 persen mengatakan organisasi di dunia telah menerapkan satu atau lebih perubahan ke program anti fraud mereka dengan memperbaiki atau melakukan pelatihan kesadaran atas internal sebanyak 45 persen.

Selanjutnya, mereka memperbaharui atau melakukan penilaian risiko kecurangan atau fraud assessment sebanyak 43 persen. Tentu, hal itu menjadi upaya untuk mencegah terjadinya kecurangan di dalam organisasi.

Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan, ACFE melalui report to the Nations mengestimasikan bahwa kecurangan  berpotensi membuat setiap organisasi mengalami kerugian sebesar 5 persen dari total pendapatan setiap tahunnya.

“Adanya praktik fraud/kecurangan pada akhirnya akan membuat perekonomian  tidak efisien dengan cost of doing bisnis yang meningkat serta menimbulkan kerugian pada negara juga organisasi terutama bagi organisasi yang tidak menjalankan fraud,” ujarnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Kasus Suap

Hacker
Ilustrasi peretasan sistem komputer. (Sumber Pixabay)

Disamping itu, kata Ahmad kasus suap bisa menyerang organisasi di industri mana saja, mulai dari pesawat, farmasi, teknologi, energy hingga jasa keuangan. Sebagai contoh kasus suap yang terjadi pada Perusahaan pembuat pesawat terbang Airbus dari Eropa.

Dimana Airbus setuju untuk membayar USD 3,9 miliar untuk menyelesaikan kasus suap dengan negara lain dan tuntutan suap asing dengan otoritas Amerika, Inggris dan Prancis.

“Kasus ini merupakan kasus dengan denda terbanyak dalam kasus pada tahun 2020 perusahaan penerbangan dari Perancis Airbus, sepakat untuk membayar denda lebih dari USD 3,9 miliar, denda terbesar yang pernah tercatat dalam kasus suap,” ujarnya.

Dari kasus tersebut, menggambarkan bahwa seluruh organisasi tanpa terkecuali perlu memikirkan kewaspadaan atas risiko suap yang mungkin timbul dalam operasional bisnis sehari-hari.

“Seluruh organisasi terutama yang bergerak di industri jasa keuangan Perlu menjalankan good government dan good governance khususnya terkait dengan suap karena kita perlu memahami dan menerapkan dengan baik regulasi yang terkandung suap dalam menjalankan bisnis,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya