Liputan6.com, Jakarta - Ancaman inflasi yang meningkat jadi faktor paling berpengaruh untuk pasar emas. Sejumlah analis meramal, harga emas berpotensi bisa melesat hingga kisaran USD 1.830 per ounce.
Pada Jumat (22/10/2021) pekan lalu, harga emas didorong ke level tertinggi selama enam pekan. Itu karena meningkatnya tekanan inflasi yang telah mendorong tingkat impas (breakeven rate) dalam obligasi 5 tahun ke level tertinggi dalam satu dekade.
Baca Juga
Inflasi merupakan masalah global yang terus berkembang saat ini. Data Kanada pada pekan lalu menunjukkan, harga konsumen naik ke level tertinggi dalam 13 tahun pada bulan lalu.
Advertisement
Sementara di Inggris, tekanan inflasi tetap tinggi dan di atas target Bank of England selama dua bulan berturut-turut.
Namun, emas kehilangan pengaruh kuatnya saat harga jualnya jatuh USD 30 dalam hitungan menit pasca Ketua The Federal Reserve Jerome Powell yang beritikad mengurangi ancaman inflasi.
Mengutip dari laman kitco.com, Senin (25/10/2021), Powell menegaskan pandangannya bahwa bank sentral AS berada di jalur yang tepat untuk mengurangi pembelian obligasi bulanan sebelum akhir 2021. Dia menambahkan, pembelian obligasi bulanan diharapkan akan berakhir pada pertengahan 2022.
Namun, tidak semua analis yakin bahwa Powell dan The Fed akan mampu mengatasi ekspektasi inflasi yang meningkat.
Daniel Pavilonis, broker komoditas senior di RJO Futures, mengatakan bahwa kenaikan imbal hasil dapat menunjukkan ekspektasi inflasi menjadi tidak terkendali. Dengan aktivitas ekonomi yang mulai melambat, The Fed akan memiliki perangkat yang terbatas.
"Saya tidak berpikir The Federal Reserve memiliki kemampuan untuk membawa inflasi kembali terkendali. Kami melihat risiko stagflasi terus tumbuh dan itu akan baik untuk emas dan semua komoditas. Emas akan baik-baik saja, seperti investor melihatnya sebagai aset waktu," tuturnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Laju Inflasi
Managing Partner di Wilshire Phoenix Wade Guenther mencermati, laju inflasi saat ini didorong oleh terus terganggunya rantai pasokan global. Menurutnya, krisis pasokan bisa berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan, yang berarti inflasi akan tetap tinggi.
"Tidak ada yang bisa dilakukan The Federal Reserve untuk memperbaiki rantai pasokan. Ini bukan inflasi yang didorong oleh permintaan konsumen," ungkap dia.
Di sisi lain, Wade turut menyoroti pernyataan Powell, yang sempat mencatat adanya pelebaran risiko saat gangguan rantai pasokan bertahan lebih lama dari yang diharapkan, sehingga bakal menjaga inflasi tetap tinggi hingga 2022.
Namun, dia menegaskan, permasalahan dasarnya adalah untuk mengatasi kemacetan pasokan, dan menurunkan angka inflasi kembali ke level 2 persen.
Advertisement