Harga PCR Rp 300 Ribu Masih Kemahalan untuk Penumpang Bus

Penumpang bus jarak jauh bakal merasa terbebani dengan tarif tes PCR Rp 300 ribu.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 27 Okt 2021, 16:20 WIB
Diterbitkan 27 Okt 2021, 16:20 WIB
FOTO: Tarif Batas Atas Tes PCR
Petugas kesehatan melakukan swab test PCR pada warga di Laboratoriun GSI Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (18/8/2021). Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan resmi menetapkan tarif tertinggi pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Sekjen DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda), Ateng Haryono, mengapresiasi instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta harga tes PCR untuk pelaku perjalanan pesawat diturunkan menjadi Rp 300 ribu.

Menurut dia, itu jadi suatu sinyal positif sebelum syarat wajib tes PCR diberlakukan untuk seluruh moda transportasi publik, termasuk bus antar kota antar provinsi (AKAP).

Namun, Ateng menilai banderol Rp 300 ribu tersebut cenderung masih kemahalan jika diterapkan untuk penumpang bus jarak jauh. Bahkan, nominal itu disebutnya mungkin masih lebih mahal dibanding ongkos naik bus.

"Harga Rp 300 ribu bagi angkutan jalan itu masih ketinggian. Karena tarif angkutan jalan yang Jakarta-Surabaya aja cuman berapa ratus ribu. Paling tinggi Rp 500 ribu," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (27/10/2021).

Ateng mengatakan, penumpang bus jarak jauh bakal merasa terbebani dengan tarif tes PCR Rp 300 ribu. Oleh karenanya, dia menyarankan pemerintah untuk memberikan subsidi potongan harga tes PCR untuk calon penumpang bus.

"Bisa subsidi seluruhnya oleh pemerintah, atau mungkin 2/3 nya. Kalau misal Rp 400 ribu ditambahin Rp 100 ribu untuk PCR orang masih ngerti, karena kepentingannya untuk kesehatan," ungkapnya.

"Kalau harga Rp 300 ribu, 2/3 nya di-absorp oleh pemerintah kemudian yang sisa Rp 100 ribu dibayar oleh masyarakat, saya pikir masih oke, bebannya masih wajar," kata Ateng.

Dia berharap pemerintah mau mendengarkan usulan tersebut jika kewajiban tes PCR jadi salah satu syarat untuk bisa berpergian menggunakan bus atau angkutan darat lain.

"Kami dari operator sih tidak minta subsidi terkait itu. Tapi untuk mensubsidi masyarakat yang bergerak. Jadi mereka yang melakukan PCR adalah mereka yang punya tiket angkutan jalan," pungkas Ateng.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Prof Tjandra Komentari Soal Wajib Tes PCR untuk Semua Moda Transportasi

PCR dan Tes Antigen Gratis Keliling Puskesmas Menteng
Petugas kesehatan melakukan tes usap (swab test) antigen dan PCR gratis di Terowongan Kendal, Menteng, Jakarta, Kamis (2/9/2021). Program ini dilaksanakan di lokasi yang berbeda-beda dengan tujuan untuk memutus penularan COVID-19 dari orang tanpa gejala (OTG). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof. Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa meskipun tes PCR diberlakukan, potensi penularan virus Corona akan tetap ada.

"Potensi penularan itu terjadi baik di bandara, maupun di dalam pesawat, dan di bandara kedatangan. Jadi kalau saya melihatnya yang jelas isunya bukan hanya di dalam moda itu, bukan hanya di dalam pesawat, kereta, atau bus. Tapi juga menuju ke situ dan keluar dari situ," ujar Tjandra pada Health Liputan6.com, Rabu (27/10/21).

Menurut Tjandra, tetap ada potensi penularan virus Corona penyebab COVID-19 dalam setiap proses perjalanan yang dilakukan. Meskipun potensinya mungkin tidak besar, tetapi ketika ada antrean dan kerumunan, potensi penularan akan tetap ada.

Tjandra pun membagikan pengalamannya saat menggunakan moda transportasi udara di masa pandemi COVID-19. Berdasarkan pengalamannya, kerumunan bahkan kesempatan untuk membuka masker dalam jangka waktu yang cukup lama terjadi selama proses perjalanan.

"Di bandara berangkat itu ada antrian, tidak ada jaga jarak. Baik depan belakang, maupun kiri kanan. Sampai di pesawat, orang di kanan kiri saya makan buka masker. Bahkan waktu balik ke Jakarta, ada antrian lagi dan disuruh buka masker karena dicek foto KTP sama atau tidak," katanya.

"Sementara kita tahu dari awal sudah dibilang kita semua harus jaga jarak, jangan lepas masker. Ini justru sama petugas disuruh lepas masker karena dia mau lihat foto saya di KTP sama atau tidak. Padahal orang di sekitar itu banyak. Jadi potensi penularan itu ada," Tjandra menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya