Krisis Berlanjut, Varian Covid-19 Omicron Bisa Kembali Tahan Ekonomi Dunia

Kemunculan varian Omicron merupakan "uji ketahanan lain" bagi rantai pasokan yang sudah tertekan akibat pandemi COVID-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 02 Des 2021, 15:26 WIB
Diterbitkan 02 Des 2021, 15:26 WIB
Muncul Varian Omicron, Bandara Afrika Selatan Sepi
Beberapa konter check in maskapai asing tetap ditutup di bandara Johannesburg OR Tambo, Afrika Selatan (29/11/2021). Banyak negara memberlakukan larangan penerbangan terhadap negara-negara Afrika selatan karena kekhawatiran atas varian baru (Covid-19) Omicron. (AP/Jerome Delay)

Liputan6.com, Jakarta Berbagai pukulan seakan belum berhenti menghantam ekonomi dunia. Saat krisis yang mulai stabil, industri kembali menghadapi yakni kemunculan varian baru COVID-19, Omicron.

Padahal di saat bersamaan, sejumlah pelabuhan dan perusahaan di dunia telah berjuang melawan krisis rantai pasokan global sejak awal tahun.

Per Hong, mitra senior di perusahaan konsultan Kearney menyebut, kemunculan varian Omicron merupakan "uji ketahanan lain" bagi rantai pasokan yang sudah tertekan akibat pandemi COVID-19.

“Rantai pasokan tetap rentan terhadap gangguan terkait pandemi, dengan varian Omicron menyoroti bahwa krisis belum berakhir,” kata Sian Fenner, Ekonom Asia di Oxford Economics, dikutip dari laman CNBC, Kamis (2/12/2021).

Dunia pertama kali mengetahui varian baru Covid-19 Omicron baru akhir pekan lalu, setelah seorang ilmuwan Afrika Selatan menandai munculnya strain tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia dengan cepat melabelinya sebagai "variant of concern," menambahkan bahwa varian tersebut kemungkinan akan menyebar lebih jauh dan berpotensi menjadi risiko global yang "sangat tinggi".

Sejak itu, varian Omicron telah ditemukan di antara kasus-kasus COVID-19 di Inggris, Prancis, Israel, Belgia, Belanda, Jerman, Italia, Australia, Kanada, dan Hong Kong.

Omicron Bisa Sebabkan Lockdown Lagi?

Meskipun tidak ada kasus Omicron yang dilaporkan di China, Hong mengatakan dia mengamati dengan cermat tanggapan pemerintah negara tersebut karena kasus-kasus yang muncul di Hong Kong.

“China diperkirakan akan menggandakan kebijakan 'nol-COVID' yang di masa lalu mencakup penguncian massal seluruh kota, karantina paksa, serta pemeriksaan ketat di pelabuhan, termasuk memantau kapal dan kargo, untuk mencegah kasus masuk," tulis Hong dalam catatannya.

Analis lain juga memperingatkan bahwa China dapat mengintensifkan langkah-langkah nol-COVID-19 dengan munculnya Omicron.

“Jika ini benar-benar terjadi, pengiriman tidak hanya akan dibatasi, tetapi kami yakin akan melihat lebih banyak lagi kekurangan komponen manufaktur utama dan penundaan pesanan yang diperpanjang untuk produk elektronik, otomotif, dan konsumen inti tergantung pada wilayah yang terkena dampak,” kata Hong.

Diketahui bahwa beberapa pelabuhan tersibuk di dunia ada di China. Dari 10 pelabuhan tersibuk teratas, tujuh berada di China, menurut data dari World Shipping Council.

Pelabuhan di Shanghai menempati peringkat pertama, Ningbo-Zhoushan peringkat ketiga, dan Shenzhen di tempat keempat, sementara Hong Kong adalah pelabuhan tersibuk kedelapan tahun lalu.

Yang pasti, WHO mengatakan masih belum diketahui jelas apakah varian Omicron menyebabkan penyakit yang lebih parah daripada strain COVID-19 lain, seperti delta.

“Banyak yang tidak diketahui, tetapi Omicron bisa saja menjadi ujian ketahanan lainnya untuk rantai pasokan global yang sudah berada di bawah tekanan dan di tengah proses penyembuhan yang panjang,” ujar Hong.

 

 

Hambat Pemulihan Ekspor Regional

Rantai pasokan di sebagian besar wilayah di dunia telah dilanda gangguan besar-besaran tahun ini. Mulai dari kekurangan container hingga banjir dan penyebaran COVID-19 yang memicu penutupan pelabuhan.

Krisis energi di China dan Eropa adalah krisis terbaru yang mengguncang industri perkapalan. "Tetapi situasinya tampak stabil baru-baru ini – meskipun masih jauh dari masa pra-COVID-19," menurut para analis.

Ketika pembatasan mereda di Asia, para pekerja dapat kembali ke pabrik dan kembali beroperasi pada bulan September.

"Ini meskipun masih ada beberapa kendala seperti pembatasan untuk menstabilkan gelombang COVID-19 baru-baru ini," menurut Sian Fenner.

“Bahkan ketika lebih banyak produksi online, masih ada tantangan logistik, terutama di seluruh pengiriman tetapi juga di angkutan udara,” katanya.

"Itu termasuk kendala pasokan pengiriman dalam jangka pendek, karena keterlambatan multi-tahun antara pesanan baru untuk kapal dan pengiriman," lanjut Fenner.

Secara global, kurang dari setengah kapal tiba tepat waktu selama tahun 2021, dan penundaan untuk kapal yang terlambat secara konsisten menambah waktu pengiriman lebih dari seminggu — dibandingkan dengan sekitar empat hari pada 2018 dan 2019, menurut Oxford Economics.

Vietnam, pengekspor utama di Asia, akan mendapatkan kembali pangsa ekspor setelah gelombang ketiga COVID-19 yang “sangat parah”, kata perusahaan riset TS Lombard.

Pandemi telah menyebabkan negara Asia Tenggara itu menutup pabriknya, menyebabkan masalah bagi banyak perusahaan di Amerika Serikat dengan fasilitas manufaktur di sana.

Tetapi, jika Omicron memberikan dampak besar dalam pemulihan rantai pasokan, hal itu dapat menimbulkan ancaman bagi pemulihan ekspor regional, kata analis dari TS Lombard dalam sebuah catatan.

“Sebagian besar pemerintah di kawasan itu kemungkinan akan menolak memberlakukan kembali pembatasan ketat, tetapi intinya adalah rantai pasokan akan tetap berada di bawah tekanan sementara ancaman COVID-19 masih ada,” jelas para analis itu.

Jika Omicron menyentuh rantai pasokan, dampaknya terhadap produk domestik bruto Asia kemungkinan akan turun 1,6 poin persentase untuk tahun depan, kata Oxford Economics.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya