Liputan6.com, Jakarta Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Purnama T Sianturi menyampaikan perkembangan pengumpulan dana dan aset sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp 19,16 triliun per 31 Maret 2022. Adapun total aset BLBI yang dikejar negara mencapai Rp 110,45 triliun.
"Total nilai yang dikumpulkan oleh satgas BLBI adalah Rp19,1 triliun dengan luas tanah 19,9 juta meter persegi," kata Purnama dalam bincang media, Jakarta, Jumat (22/4).
Secara rinci sitaan tersebut terdiri dari, dalam bentuk uang (PNBP ke kas negara) Rp371 miliar, dalam bentuk sita barang Rp12,2 triliun dengan luas tanah 19 juta meter persegi. Dalam bentuk penguasaan aset properti Rp5,3 triliun dengan luas tanah 530.140 meter persegi.
Advertisement
Dalam bentuk PSP dan hibah kepada K/L dan Pemda Rp1,1 triliun dan luas tanah 328.970 meter persegi. Sehingga total nilai yang dikelola oleh satgas BLBI adalah Rp19,1 triliun dengan luas tanah 19,9 juta meter persegi.
Adapun sitaan aset BLBI tersebut berasal dari 46 obligor dan debitur yang tersebar di dalam negeri dan luar negeri. Sebanyak 35 debitur dan obligor dalam negeri sementara 11 sisanya berada di luar negeri atau mayoritas Singapura.
Sementara itu, terkait usia sebanyak 22 orang berusia diatas 71 tahun, 12 orang 61-70 tahun, berusia 50-60 tahun sebanyak 7 orang. Kemudian sebanyak 5 orang tercatat sudah meninggal dunia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Awas, Nilai Aset BLBI yang Disita Negara Bisa Menyusut
Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho mengeritik klaim soal aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah disita dari para obligor dengan nilai Rp 19 triliun.
Pasalnya, dia menilai nilai aset BLBI yang disita tersebut bisa saja tidak mencerminkan nilai sebenarnya lantaran sudah menyusut. Karena itu, dia meminta menghentikan pernyataan yang dinilainya terlalu bombastis tersebut.
"Satgas BLBI musti ingat, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu melakukan kekeliruan yang sama yakni perkiraan nilai aset sudah dihitung sebagai nilai pembayaran hutang. Namun setelah dijual, ternyata nilai tunai hanya 5 persen dari perkiraan," ujar Hardjuno Wiwoho dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (4/4/2022).
Hardjuno menjelaskan klaim pemerintah bahwa Satgas telah menyita aset obligor sebanyak 19 juta meter dengan perhitungan rata-rata nilainya Rp 19 triliun adalah pernyataan berbahaya dan berimplikasi hukum.
Sebab, aset sitaan, bukanlah sitaan tunai dan belum masuk kas negara sehingga belum bisa dihitung. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menyatakan sitaan tanah itu nilainya sekian dan ternyata setelah dilelang nilainya jauh dari perkiraan, hal itu bisa disebut sebagai korupsi karena merugikan negara.
“Ingat BPPN menerima aset lalu sudah dikatakan nilainya sekian-sekian, utang obligor BLBI lunas, dikasih SKL (Surat Keterangan Lunas). Ternyata setelah dijual nilainya hanya 5 persen dari perkiraan. Ini siapa yang tanggungjawab?,” papar Hardjuno.
Advertisement
Valuasi Aset
Pada intinya, Hardjuno menegaskan, Satgas jangan pernah menilai dari valuasi aset seperti tanah yang disita, karena bisa saja nilainya di mark up.
Yang harus dinilai adalah ketika aset tersebut sudah dijual dan hasil penjualannya sudah disetorkan ke kas negara sebagai pengembalian kerugian negara.
“Jadi jelas ya, angka klaim Satgas BLBI sudah sukses menyita aset sebesar Rp 19.1 Trilliun itu hanyalah angka perkiraan. Tanah-tanah sitaan yang dulu diklaim Rp 9,8 triliun itu dan sekarang tambah lagi ini, kita perkirakan jika dilelang nilainya tak lebih dari Rp 1-2 triliun,” tandas Hardjun.