China Bukan Lagi Pemegang Terbesar Surat Utang AS

Perdana dalam 12 tahun, nilai surat utang AS yang dipegang China menyusut Rp 14,9 kuadriliun.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Jul 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2022, 15:00 WIB
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Nilai surat utang Amerika Serikat yang dipegang China menyusut di bawah USD 1 triliun atau setara Rp 14,9 kuadriliun untuk pertama kalinya dalam 12 tahun. Foto: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Nilai surat utang Amerika Serikat yang dipegang China menyusut di bawah USD 1 triliun atau setara Rp 14,9 kuadriliun untuk pertama kalinya dalam 12 tahun. 

Penurunan utang AS ini terjadi di tengah kenaikan suku bunga yang membuat surat utang pemerintah AS menjadi kurang menarik.

Dilansir dari CNBC International, Selasa (19/7/2022) tren penurunan ini terjadi sejak awal 2021, saat  portofolio utang pemerintah AS yang dipegang oleh China turun menjadi USD 980,8 miliar (Rp 14,6 kuadriliun) menurut data Departemen Keuangan AS.

Jepang kini menggantikan posisi China dalam mengantongi surat utang AS sebesar USD 1,2 triliun.

Penurunan utang ini terjadi karena Federal Reserve atau The Fed relah mengerek suku bunga untuk mlawan inflasi yang melonjak tinggi sejak 1981.

Ketika suku bunga obligasi naik, harga turun ini merupakan kerugian modal untuk para investor yang menjual obligasi mereka sebelum jatuh tempo.

Penurunan nilai surat utang ini juga dikaitkan dengan pemerintah China yang sedang melakukan diversifikasi portofolio utang luar negeri mereka.

Pada Juni 2022 lalum bunga The Fed overnight naik 0,75 bps, dan diprediksi akan kembali naik pekan depan.

Sementara itu, meski nilai surat utang menurun, ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.

Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.

 

Ekonomi China Susut Imbas Lockdown Covid-19

Potret Warga Shanghai Kembali Hidup Normal
Pengendara melewati penghalang di sekitar komunitas di Shanghai (2/6/2022). Lalu lintas, pejalan kaki dan pelari muncul kembali di jalan-jalan Shanghai ketika kota terbesar di China mulai kembali normal di tengah pelonggaran penguncian COVID-19 dua bulan yang ketat atas penerapannya. (AP Photo/Ng Han Guan)

Dilansir dari BBC, pada basis year-on-year ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.

"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.

Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.

"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.

Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.

"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.

"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya. 

Sebagai informasi, Kota Shanghai, yang menjadi pusat ekonomi di China memberlakukan lockdown selama dua bulan sejak akhir Maret 2022 ketika pihak berwenang berusaha menahan lonjakan kasus Covid-19.

Lulusan Baru di China Susah Cari Kerja Imbas Pandemi Covid-19, Penggangguran Bertambah

Potret Warga Shanghai Kembali Hidup Normal
Seorang pria bermasker jongkok saat menunggu untuk menyeberang jalan di Shanghai (2/6/2022). Lalu lintas, pejalan kaki dan pelari muncul kembali di jalan-jalan Shanghai ketika kota terbesar di China mulai kembali normal di tengah pelonggaran penguncian COVID-19 dua bulan yang ketat atas penerapannya. (AP Photo/Ng Han Guan)

Tingkat pengangguran di antara usia muda di China mencapai lebih dari 18 persen di tengah pandemi Covid-19.

Angka tersebut tiga kali lebih besar dari tingkat pengangguran resmi perkotaan dan rekor tertinggi bagi pencari kerja berusia 16 hingga 24 tahun di China. 

Dilansir dari Nikkei Asia, 10,76 juta lulusan perguruan tinggi di China memasuki salah satu pasar kerja terburuk dalam beberapa dekade karena ekonomi yang terhenti akibat kebijakan ketat nol-Covid-19, pasar properti yang merosot, hingga aturan ketat di sektor teknologi.

Perusahaan teknologi terkemuka seperti Tencent dan Alibaba, yang pernah menjadi saluran utama bagi lulusan baru, dikabarkan memangkas puluhan ribu staf.

Namun, belum ada perusahaan yang menanggapi kabar terkait PHK tersebut.

Bahkan, mereka yang memiliki pekerjaan melihat sekeliling dengan gugup saat perusahaan mengumumkan pemotongan baru setiap saat.

"Pengumuman itu datang tiba-tiba. Beberapa karyawan diminta untuk segera meninggalkan tempat kerja setelah mereka diberi tahu," bebernya.

Untuk mengatasi meningkatnya pengangguran, Beijing menawarkan insentif dan subsidi kepada perusahaan yang akan membuat staf tetap digaji. 

"Bisnis kemungkinan akan melihat permintaan domestik dan eksternal yang lemah dalam waktu lama, dan akan tetap konservatif dalam mempekerjakan dan mempertahankan karyawan," kata perusahaan layanan keuangan BofA Securities dalam laporan pada bulan Juni. 

Angka Pengangguran Usia Muda di China Diprediksi Bakal Capai 23 Persen

Shanghai dan Beijing Lakukan Putaran Baru Tes Covid-19 Massal
Seorang pekerja pemeliharaan yang mengenakan masker menarik gerobak di sepanjang jalan di Beijing, Rabu (6/7/2022). Lockdown dan pengujian massal berulang kali terjadi di China. Ini merupakan bagian dari kebijakan nol-Covid yang bertujuan untuk memberantas semua wabah. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

BofA Securities memprediksi, angka pengangguran usia muda di China bisa mencapai 23 persen pada Juli dan Agustus 2022. 

"Tantangan pasar tenaga kerja tahun ini bisa lebih besar daripada (di awal pandemi), mengingat tidak adanya akhir yang jelas dari penurunan ekonomi dan sedikit kemungkinan rebound yang cepat atau kuat," jelas perusahaan itu.

Senada, seorang perekrut yang berbasis di Guangzhou, yakni Amy Tan, juga mengatakan bahwa "pasar kerja sangat lesu karena langkah-langkah pencegahan Covid-19.

"Perusahaan tidak merekrut karena penjualan mereka terpengaruh," ungkapnya.

Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya