Liputan6.com, Jakarta Program konversi kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke kompor induksi dinilai bisa menjadi solusi strategis memangkas pengeluaran anggaran negara. Mekanisme konversi energi ini dilakukan dengan sosialisasi yang intens dan ujicoba di beberapa kota besar.
Praktisi energi, Dina Nurul Fitria mengapresiasi komitmen pemerintah yang ingin beralih dari energi fosil ke energi yang lebih bersih dengan tetap memperhatikan kesiapan masyarakat.
Saat ini, pemerintah sedang dipusingkan dengan membengkaknya impor dan subsidi gas LPG. Di sisi lain, keberhasilan konversi minyak tanah ke gas LPG seolah-olah menjadi status quo.
Advertisement
Sayangnya, sejauh ini subsidi LPG masih didistribusikan secara terbuka dan dinikmati golongan kaya. Tahun ini, alokasi awal belanja subsidi dan kompensasi sebesar Rp 152,5 triliun, sementara dengan penyesuaian kebutuhan subsidi energi dan kompensasi 2022 mencapai Rp 502,4 triliun.
Menurutnya, konversi LPG ke kompor induksi merupakan langkah tepat untuk mengurangi impor gas tersebut.
“Kalau kita menggunakan data, maka akan lebih efektif sekiranya transisi energi dari LPG ke kompor listrik ini menyasar ke golongan rumah tangga dari menengah ke bawah. Tentu dalam hal ini, data juga mesti tepat, mengingat selama ini narasi yang berkembang bahwa subsidi energi yang tidak tepat sasaran,” ujarnya.
Dina menjelaskan, dengan menggunakan basis data PLN, yang selama ini menyalurkan subsidi listrik, efektivitas subsidi dapat lebih tepat sasaran.
Langkah Bisa Dilakukan Pemerintah
Sama seperti konversi terdahulu, pemerintah dapat memberikan paket kompor listrik kepada masyarakat dengan tetap menyesuaikan daya pemakaian energinya.
“Jadi bantuan tidak hanya kepada harga listriknya, tapi infrastrukturnya yakni kompor listrik. Strategi ini lebih tepat sasaran karena menyasar rumah tangga langsung," ungkap Dina.
Upaya menyukseskan program ini, sebaiknya pemerintah menyusun strategi dengan penajaman data penyebaran subsidi dan tidak mengganggu program lain.
Menurutnya, waktu 7-9 bulan dapat dilakukan sebagai bagian dari sosialisasi dan adaptasi masyarakat menggunakan kompor listrik.
Tidak hanya menyasar rumah tangga, sosialisasi konversi kompor induksi dapat dilakukan kepada pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Keberhasilan mengubah kebiasaan UMKM dianggap cara jitu untuk menularkannya ke rumah tangga.
“Ini tidak bisa instan, tidak bisa radikal, kita kasih waktu masyarakat belajar 7-9 bulan sebagai masa transisi. Di sisi lain, upaya meningkatkan penerapan subsidi tepat sasaran juga terus dilakukan,” tambah dia.
Advertisement
Harga LPG Makin Mahal, Program Konversi Kompor Induksi Minta Dipercepat
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mendorong pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan program konversi kompor Liquified Petroleum Gas (LPG) ke kompor induksi.
Langkah ini demi menghemat anggaran pendapatan belanja negara (APBN) di tengah kenaikan biaya impor akibat lonjakan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) menyentuh angka USD 117,62 per barel pada Juni 2022.
Begitupula, tren harga Contract Price Aramco (CPA) masih di tinggi pada bulan Juli ini mencapai USD 725/Metrik Ton (MT) atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang tahun 2021 akibat perang Rusia dan Ukraina. Untuk diketahui, CPA adalah salah satu acuan dalam menetapkan harga liquid petroleum gas (LPG).
"Apalagi saat ini LPG 3 kg ini didistribusikan secara terbuka, sehingga tidak tepat sasaran. Ketika di konversi ke kompor listrik maka akan mengurangi jumlah pengguna LPG," kata Mamit kepada Merdeka.com di Jakarta, Kamis (14/7/2022).
Mamit menyampaikan, sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) melimpah seharusnya bukan perkara sulit bagi Indonesia untuk mempercepat konversi kompor LPG ke kompor induksi. Mengingat, keberadaan batu bara dan gas alam masih belum dikelola secara optimal.
Terlebih lagi, saat ini, tren kenaikan harga komoditas energi dunia terus berlanjut imbas perang Rusia dan Ukraina. Alhasil, PT Pertamina (Persero) kembali melakukan penyesuaian harga jual gas LPG non subsidi sebesar Rp2.000 per kilogram mulai 10 Juli 2022 lalu.
"Saya kira kini saatnya kita optimalisasi hasil sumber daya alam sendiri yaitu batu bara dan gas alam sebagai sumber energi primer kita. Melalui program konversi dari bbm ke kompor induksi akan membantu mengurangi beban subsidi pemerintah terutama subsidi LPG," tutupnya.
Harga LPG Nonsubsidi Naik
PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga LPG non subsidi jenis Bright Gas mulai 10 Juli 2022. Harga gas yang mengalami penyesuaian tersebut untuk ukuran 5,5 kg dan 12 kg.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mencatat, kenaikan harga LPG non subsidi tersebut mencapai Rp2.000 per kg. Dengan ini, harga jual LPG ukuran 5,5 kg menjadi Rp100.000 per tabung dan LPG ukuran 12 kg menjadi Rp213.000 per tabung untuk wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat.
"Untuk LPG non subsidi seperti Bright Gas akan disesuaikan sekitar Rp 2.000 per Kg," kata Irto dalam keterangannya, Senin (11/7).
Irto menerangkan, kebijakan penyesuaian harga ini imbas dari lonjakan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) menyentuh angka USD 117,62 per barel pada Juni 2022, lebih tinggi sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022.
Begitu pula dengan LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada bulan Juli ini mencapai USD 725/Metrik Ton (MT) atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.
Melihat tren ini, Irto mengatakan bahwa Pertamina Patra Niaga melakukan penyesuaian harga untuk produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi, diantaranya Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite serta LPG non subsidi seperti Bright Gas. Untuk saat ini, hanya Pertamax yang merupakan BBM non subsidi namun harganya tidak berubah.
Advertisement