Liputan6.com, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mampu memenuhi anggaran subsidi energi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik.
"(Ketahanan APBN) Seperti kemarin disampaikan KSSK, kita cukup punya daya tahan untuk itu," kata Yustinus kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).
Baca Juga
Sebelumnya, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga hingga Juni 2022 di tengah perekonomian global yang meningkat.
Advertisement
Hal tersebut berdasarkan hasil rapat koordinasi di kuartal II-2022 yang sudah dilakukan oleh KSSK, yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Anak buah Menteri Keuangan ini menegaskan, subsidi BBM dan listrik masih menjadi bantalan ekonomi untuk mencegah terjadinya inflasi yang tinggi.
"Iya (subsidi masih jadi bantalan), karena kondisinya masih pemulihan ekonomi ya, apalagi masyarakat yang paling terdampak harus dilindungi yang daya beli tidak cukup tak mampu, itu komitmen," ujarnya.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait rencana penambahan subsidi, Yustinus mengatakan pihaknya masih menunggu langkah dari Kementerian ESDM, Pertamina, dan PLN. Sebab, dibutuhkan perhitungan yang matang sebelum Pemerintah menggelontorkan tambahan subsidi.
"Itu nanti nunggu bagaimana ESDM, Pertamina, PLN menghitung ya. Dan kita mintakan dari Banggar jika ada perubahan," ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Angka Kian Bengkak
Diketahui, Pemerintah terus berupaya menahan kenaikan harga BBM dan listrik dengan subsidi. Namun angka subsidi kian membengkak, secara total anggaran pemerintah untuk subsidi dan kompensasi menjadi Rp 352 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jika pemerintah tidak menahan kenaikan harga BBM dan listrik, Indonesia bisa mengalami peningkatan inflasi sebagaimana yang dialami berbagai negara saat ini.
Adapun beberapa waktu lalu, kata Yustinus, Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui perubahan postur Indonesian Crude Price (ICP) yang diasumsikan sebelumnya adalah USD63 per barel menjadi USD100 per barel.
"Kemarin kan kesepakatan banggar USD 100 per barel itu yang jadi asumsi perubahan saat ini. Turun gak jadi soal, kalau naik ya nanti kita mintakan persetujuan DPR setelah kita bahas," pungkasnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Jokowi: Subsidi BBM Indonesia Sudah Rp 502 Triliun
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberikan pemerintah sudah sangat besar yakni, mencapai Rp 502 triliun. Menurut dia, tidak ada negara mana pun yang kuat memberikan subsidi sebesar itu.
"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 (triliun) sekarang sudah Rp502 triliun. Negara manapun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi dalam acara Zikir dan Doa Kebangsaan di halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin 1 Agustus 2022.
"Tapi alhamdulilah kita sampai saat ini masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri," sambungnya.
Dia menyampaikan bahwa harga bensin di negara lain mencapai Rp31.000 sampai Rp32.000 per liter. Sedangkan, harga Pertalite di Indonesia Rp7.650 per liter.
"Kita patut bersyukur, Alhamdulilah kalau bensin di negara lain harganya sudah Rp31.000, Rp32.000. Di Indonesia Pertalilte masih harganya Rp7.650," ucapnya.
Dunia Tidak Baik-Baik Saja
Jokowi menuturkan bahwa dunia saat ini sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Setelah dihantam pandemi Covid-19 hampir 2,5 tahun, dunia kini dihadapi dengan munculnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis.
"Muncul sesuatu yang dadakan yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Sakitnya belum sembuh, muncul yang namanya perang di Ukraina sehingga semuanya menjadi bertubi-tubi, menyulitkan hampir semua negara. Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit," jelas Jokowi.
Menurut dia, negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa yang menjadikan gandum sebagai makanan harian, saat ini berada dalam posisi yang sulit. Pasalnya, 77 juta ton gandum dari Ukraina tidak bisa keluar atau di ekspor akibat perang.
Advertisement