Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengatakan potensi dampak dari krisis pangan. Ia menyebut ada 800 juta orang terancam kekurangan pangan dan kelaparan.
Untuk itu, ia meminta lahan-lahan tidak produkif, untuk bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Ini memang jadi perhatiannya sejak awal tahun 2022.
"beberapa negara sudah mulai, mulai, mulai (krisis pangan) dan diperkirakan kalau ini tidak ada solusi diperkirakan bisa masuk ke 800 juta orang akan kekurangan pangan dan lapar," ujarnya di Boyolali, mengutip YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (11/8/2022).
Advertisement
""Inilah kenapa, kita ingin lahan-lahan yang tidak produktif, itu diproduktifkan," imbuhnya.
Misalnya, terkait dengan menanam cabai sebagai respons harga cabai yang melambung. Ini menurutnya, bisa dilakukan dengan mudah memanfaatkan polybag atau lahan pekrangan.
"shingga tidak ada yang namanya kita ini kekurangan cabai atau harga cabai naik, ini yang baru dikerjakan oleh Kementerian Pertanian," katanya.
Tanam 1 Juta Kelapa Genjah
Sebagai salah satu upaya juga, Jokowi mulai menanam kelapa genjah. Ia menargetkan setidaknya ada 1 juta kelapa genjah yang ditanam.
"saya kira ini yang akan terus kita lakukan dan di Solo Raya, di Boyolali kita bagi 46 ribu, di karanganyar kita bagi 44 ribu, dan di sukoharjo 110 ribu kelapa genjah," terangnya.
Selain wilayah itu, ia menyampaikan akan memperluas jangkauan ke wilayah lain. Tentunya pada wilayah yang karakternya bisa ditanami kelapa genjah.
"ini baru dimulai disini, nanti di provinsi yang memang kelapa itu bisa hidup baik akan kita tanami, targetnya kurang lebbih 1juta kelapa genjah," ujarnya.
Nilai Ekonomi
Menurut hemat Jokowi, kelapa genjah punya nilai ekonomi lebih. Dari satu pohon, bisa menghasilkan berbagai macam produk.
Dari jumlah buah saja, Jokowi memperkirakan mampu menghasilkan sebanyak 180 buah sekali panen. Produk turunannya, bisa langsung dijual berupa buah, diolah menjadi gula semut, hingga minyak kelapa.
"Artinya 2 tahun 2 setegah tahun, setahun bisa produksi satu pohon bisa 180 buah, yang itu bisa dibuat gula semut dibuat minyak kelapa, yang juga bisa dijual buahnya untuk minuman segar," paparnya.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Moeldoko soal Ada Potensi Krisis Pangan: Kita Cari Solusinya
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mewanti-wanti agar jangan sampai Indonesia mengalami krisis pangan.
Dia pun meminta seluruh masyarakat mulai mempersiapkan diri salah satunya, dengan meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan melakukan diversifikasi pangan.
"Sembilan belas juta orang di dunia mengalami kurang gizi. Tiga ratus sembilan puluh empat juta masyarakat global sedang kesulitan dalam sektor pangan. Menghadapi situasi ini kita ngapain? Ini yang harus kita cari solusinya," kata Moeldoko dikutip dari siaran persnya, Selasa (2/8/2022).
Menurut dia, saat ini ketersediaan pangan domestik masih sangat baik. Dalam tiga tahun terakhir, kata Moeldoko, produktivitas di sektor pertanian terutama pada komoditas beras mengalami surplus.
Hal ini membuat kebutuhan konsumsi nasional tercukupi. Kendati begitu, Moeldoko menekankan capaian tersebut tidak boleh membuat Indonesia lengah sebab situasi dunia terus berubah sangat cepat.
"Seperti perubahan iklim dan cuaca serta kondisi geopolitik global. Perubahan iklim dan cuaca bisa menyebabkan kondisi gagal panen," ujarnya.
Moeldoko mengingatkan perubahan geopolitik global dapat membuat negara-negara produsen komoditas pangan menghentikan ekspornya. Hal ini menyebabkan kenaikan harga energi.
"Sehingga terjadi konversi dari makanan menuju energi karena kebutuhan kapital," ucapnya.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kondisi Iklim dan Cuaca
Dia menilai bahwa Indonesia masih diuntungkan oleh kondisi iklim dan cuaca. Moeldoko menyebut fenomena La Nina atau fenomena curah hujan tinggi yang terjadi saat ini berdampak positif pada sektor pertanian, yakni tidak mengalami gagal panen.
Namun di sisi lain, Indonesia juga terkena dampak terjadinya geopolitik global seperti, konflik Rusia-Ukraina dan persoalan politik di Belarus. Konflik Rusia-Ukraina membuat Indonesia tidak bisa impor gandum.
"Padahal kebutuhan kita sebesar 30 persen. Persoalan politik di Belarus, membuat kita harus impor pupuk dari negara lain dengan harga lebih tinggi," tegas dia.
"Belum lagi kenaikan harga minyak dunia yang membuat situasi semakin sulit. Ini tantangan dan harus kita cari solusinya," sambung Moeldoko.
Menghadapi kondisi tersebut, Moeldoko menegaskan pemerintah sudah bekerja keras untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan akibat perubahan iklim dan geopolitik global.
Salah satunya, melakukan diversifikasi pangan, optimalisasi pupuk bersubsidi agar tepat sasaran, hingga kebijakan politik anggaran untuk ektensifikasi lahan-lahan pertanian.
"Untuk diversifikasi pangan, saya sudah mengawali menanam sorgum di NTT. Dan ternyata dalam kondisi yang kering, sorgum bisa tumbuh dengan subur. Nah, kita perlu mencari altrnatif-alternatif pangan baru untuk menggantikan beras," ungkap Moeldoko.
Â