Alasan Generasi Muda Lebih Santai Terkait Karier hingga Keuangan

Preferensi generasi muda ini telah menciptakan culture gap antara old economy dan new economy.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 27 Sep 2022, 11:19 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2022, 16:43 WIB
Ilustrasi Generasi Z
Ilustrasi Genera Z (dok. wikimedia commons)

Liputan6.com, Jakarta - Generasi muda saat ini, baik milenial maupun Gen-Z, acap dianggap sebagai kutu loncat di dunia kerja. Lantaran generasi muda saat ini kerap berpindah tempat kerja, salah satu alasan yang sering mencuat adalah ‘tidak cocok’.

Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto, CFA menilai hal itu cukup wajar, mengingat generasi muda saat ini memiliki banyak alternatif karier.

Hal itu didukung perkembangan ekonomi digital, yang memungkinkan seseorang mendapat pendapatan lebih dari satu sumber. Sehingga tidak ada motivasi berarti untuk menetap pada satu pekerjaan yang sama saat merasa tak lagi nyaman.

"Mereka memiliki pilihan untuk menjadi apa saja, misalnya seorang entrepreneur. Mereka bisa menghasilkan uang dari media sosial dan mereka ini kan mencari aspirasi bagaimana supaya lebih fleksibel dan work life balance,” kata Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).

Menurut Herman, preferensi generasi muda ini telah menciptakan culture gap antara old economy dan new economy. Di sisi lain, generasi muda saat ini dinilai memiliki daya tawar (bargaining power) yang tinggi.

Selain dari edukasi yang relatif lebih baik, generasi ini mampu meraup pundi-pundi cuan dari berbagai sumber secara efisien, sehingga cenderung tak loyal terhadap perusahaan.

“Seperti pada perusahaan e-commerce. Banyak yang bisa bekerja di Bali, dari mana aja. Yang penting hasilnya ada. Itu yang menarik perhatian anak-anak muda, jadi old economy ditinggalkan," ujar Herman.

 .


Pergeseran Gaya Hidup

Ilustrasi Sukses, Generasi Muda
Ilustrasi Sukses, Generasi Muda (Photo created by studiogstock on Freepik)

Beda dengan generasi sebelumnya, Herman mengatakan generasi muda saat ini banyak yang tak terlalu ambil pusing soal kepemilikan aset seperti properti.

Dia menilai, generasi muda enggan terlilit utang atau kredit untuk jangka waktu yang panjang hanya untuk memiliki hunian. Sehingga memaksa mereka untuk setia pada korporasi guna menjamin kelancaran pembayaran pada masa mendatang.

"Sementara Gen-Z lebih take it easy. Enggak mau beli properti, maunya fokusnya lebih ke have fun, experience base, lebih ke travelling, cari experience lalu menghabiskan waktu untuk cari knowledge,” ujar dia,

Di sisi lain, Gen-Z yang diasuh oleh orangtua milenial utamanya, dinilai memiliki pola asuh yang lebih demokratis. Sehingga bisa lebih leluasa dalam menentukan langkahnya. Generasi milenial (orangtua) juga umumnya memiliki kesadaran untuk mengupayakan pendidikan dan lingkungan terbaik untuk anak-anak mereka.

"Jadi Gen-Z sudah well educated untuk enggak mau ambil utang. Mereka jadi merasa bebas,” ujar Herman.

 

 


Saat Inflasi Tinggi Jadi Perhatian Global, Apa Penyebabnya?

Indeks harga konsumen Amerika Serikat
Pelanggan menelusuri kios makanan di dalam Grand Central Market di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi Amerika Serikat (AS) pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Sebelumnya, belum pulih dari pandemi COVID-19, dunia kini tengah dilanda inflasi global. Secara garis besar, Head of Research / Portfolio Manager PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Herman Koeswanto, CFA menerangkan inflasi ini disebabkan tidak seimbangnya persediaan (supply) dan demand (permintaan).

Di tengah tren pemulihan ekonomi, Herman mencermati adanya pertumbuhan permintaan. Asal tahu saja, pemerintah di banyak negara menggulirkan stimulus jumbo untuk menjaga daya beli masyarakat selama krisis. Kebijakan itu turut mendorong tingginya permintaan saat ekonomi dibuka.

"Saat terjadi pembukaan ekonomi, orang-orang mau belanja, traveling.  Jadinya supply dan demand tidak belance, demand-nya loncat tinggi, tapi supply nya tidak loncat," kata Herman dalam Money Buzz, Selasa (13/9/2022).

Saat pandemi COVID-19 berlangsung, Herman mencermati adanya adopsi digital yang masif. Hal ini turut membuka literasi mengenai investasi sebagai salah satu upaya untuk tetap memiliki aset ketika krisis. Sehingga jumlah investor ritel di banyak negara tumbuh signifikan selama periode itu.

 

 


Selanjutnya

Indeks harga konsumen Amerika Serikat
Orang-orang menelusuri pakaian yang dijual di dalam Grand Central Market di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi AS pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

"Sejak Covid, retail investor di mana-mana naik mendominasi pasar. Itu sebabkan banyak orang yang bisa mengerti bagaimana menangani krisis. Sementara dari sisi supply belum kembali normal," imbuh dia.

Mulanya, banyak orang yang tak yakin pemulihan ekonomi akan berlangsung cepat. Sehingga terjadi pemutusan kerja dan berbagai upaya lainnya untuk menekan biaya yang sebabkan perlambatan supply.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 merupakan fenomena pertama, sehingga muncul ketidak pastian mengenai langkah apa yang sebaiknya diambil untuk memitigasi risiko dari krisis itu.

Namun, tak disangka vaksin ditemukan, sehingga pemulihan dapat terakselerasi. "Kejadian di tengah covid ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi itu sebabkan supply disruption. Banyak global supply chain yang terhambat dari sisi produksi, logistik, pabrik. Tidak disangka vaksin ditemukan dan pemulihan berjalan relatif cepat,” kata Herman.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya