Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2022 ini menjadi 2,8 persen, ketika negara itu menghadapi perlambatan ekonomi yang didorong oleh kebijakan nol-Covid-19.
Sebelumnya, pada April 2022, Bank Dunia memprediksi ekonomi China bakal tumbuh 5 persen. Proyeksi Bank Dunia kali ini merupakan yang terendah di antara lembaga-lembaga internasional lainya.
Baca Juga
Dilansir dari The Straits Times, Jumat (30/9/2022) Bank Dunia dalam laporan prospek ekonomi untuk Asia Timur dan Pasifik mengatakan bahwa 2022 akan menjadi tahun pertama pertumbuhan ekonomi China turun di bawah kawasan itu sejak 1990.
Advertisement
Mengingat bahwa China menyumbang 86 persen dari PDB dari 23 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, perlambatannya akan menyeret pertumbuhan keseluruhan di kawasan itu turun menjadi 3,2 persen pada 2022 dari 7,2 persen pada 2021.
Tidak termasuk China, Bank Dunia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan itu akan lebih dari dua kali lipat pada tahun 2022 menjadi 5,3 persen dari 2,6 persen pada tahun 2021.
Dalam presentasinya di laporan tersebut, kepala ekonom Bank untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo menyoroti tiga kekhawatiran utama yang menjadi perhatian untuk pertumbuhan ekonomi kawasan itu.
Pertama, adalah perlambatan ekonomi global, yang kemungkinan akan menekan permintaan untuk ekspor manufaktur, termasuk barang dan komoditas.
Kemudian kekhawatiran kedua terkait kenaikan suku bunga oleh The Fed dan bank sentral lainnya, yang telah menyebabkan arus keluar modal, depresiasi mata uang dan beban pembayaran utang yang lebih tinggi.
Kekhawatiran ketiga yaitu langkah-langkah untuk mengendalikan inflasi, seperti pengendalian harga dan subsidi, terutama di Malaysia dan Indonesia.
Ekonom Bank Dunia : Pertumbuhan Ekonomi China Terbebani Masalah Real Estate
Mattoo juga menyampaikan bahwa sementara sebagian besar negara telah bangkit kembali dari pandemi Covid-19, China masih berjuang untuk menahan penyebaran varian Omicron, yang telah mendorong pembatasan pergerakan hingga aktivitas ekonomi.
Dia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi China juga terbebani oleh masalah di sektor real estate. "Iritasi jangka pendek ini perlu ditangani untuk melepaskan potensi jangka panjang ekonomi China," katanya.
Selain itu, kenaikan suku bunga oleh The Fed dan bank sentral lainnya serta depresiasi mata uang akan berdampak pada beban pembayaran utang dan inflasi di negara kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Bank Dunia memperkirakan bahwa guncangan harga dan suku bunga baru-baru ini dapat mengurangi pertumbuhan di kawasan itu hingga 0,4 poin persentase.
Dia menilai, sebagian besar negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik telah mengatasi kenaikan suku bunga dengan cukup baik karena sebagian besar utang mereka adalah domestik dan proporsi utang suku bunga variabel dalam kewajiban luar negeri mereka rendah.
Advertisement
China Dihantui Risiko Deflasi Dampak Kebijakan Ketat Covid-19
China menghadapi peningkatan risiko deflasi karena menyusutnya permintaan dampak krisis properti dan pembatasan Covid-19 yang berkepanjangan. Ancaman deflasi ini berkebalikan dengan beberapa negara maju yang justru menghadapi inflasi tinggi.
Indeks yang disusun oleh China Beige Book International (CBBI) mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan di China melaporkan pertumbuhan harga jual terlemah sejak kuartal terakhir 2020 dalam tiga bulan hingga September.
Penurunan itu terjadi meski upah dan biaya input sedikit meningkat dari kuartal sebelumnya.
CBBI mensurvei 4.354 perusahaan selama periode tersebut.
"Sementara hampir seluruh dunia panik atas lonjakan inflasi, risiko deflasi membayangi China, berkat dampak loyonya permintaan karena kebijakan nol-Covid-19," kata kepala eksekutif CBBI Leland Miller, dikutip dari The Straits Times, Kamis (29/9/2022).
Sebagian besar tekanan deflasi sejauh ini berasal dari industri properti, menurut laporan CBBI, yang mencatat bahwa industri ritel dan jasa masing-masing mengalami percepatan harga pada kuartal ketiga.
Selain industri properti, tekanan deflasi diperparah dengan lockdown di daerah-daerah seperti Shanghai dan provinsi Jilin, yang membatasi aktivitas awal tahun, dan kota-kota lain salah satunya Chengdu yang baru-baru ini memberlakukan lockdown.
Indeks harga konsumen utama China naik 2,5 persen pada Agustus 2022 karena harga daging babi terus naik dan harga BBM yang masih tinggi.
Namun laju kenaikan melambat dari bulan sebelumnya, dan inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi, tidak berubah dari angka 0,8 persen bulan lalu.