Rupiah Berpotensi Loyo pada Perdagangan Selasa 18 Oktober 2022

Rupiah ditutup melemah pada perdagangan Senin (17/10/2022),

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 17 Okt 2022, 20:24 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2022, 20:24 WIB
FOTO: Akhir Tahun, Nilai Tukar Rupiah Ditutup Menguat
Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Rupiah ditutup melemah 60 poin pada perdagangan Senin, 17 Oktober 2022 walaupun sempat melemah 65 poin di level Rp 15.487. Sedangkan, pada penutupan perdagangan sebelumnya Rupiah berada di posisi 15.427.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, Rupiah berpotensi melemah pada perdagangan Selasa, 18 Oktober 2022.

“Mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 15.450 hingga Rp 15.500,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulis, Senin (17/10/2022).

Secara internal, hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam  menghadapi tingginya nilai tukar dolar AS hingga saat ini. 

Beberapa negara menggunakan intervensi valuta asing (valas) untuk menstabilkan mata uangnya. Akibatnya, total cadangan devisa (cadev) yang dimiliki mengalami penurunan lebih dari 6 persen dalam tujuh bulan pertama tahun ini.

Intervensi dengan memanfaatkan cadangan devisa kini perlu dicermati ulang. Sebab, itu seharusnya langkah sementara dan hanya untuk mengantisipasi pergerakan mata uang yang secara substansial meningkatkan risiko stabilitas keuangan, ataupun secara signifikan mengganggu kemampuan bank sentral untuk menjaga stabilitas harga. 

“Pada umumnya, pengendalian inflasi hanya dilakukan secara makro oleh bank sentral. Namun, pengendalian inflasi di tanah air tidak hanya dilakukan secara makro, tapi juga mikro, sehingga dalam praktik secara riil langsung masuk ke sumbernya," ujar Ibrahim.

Sementara itu, penguatan dolar AS saat ini lebih disebabkan penguatan fundamental makro ekonomi AS, seperti tingginya angka inflasi yang membuat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), terus menaikkan suku bunga acuannya, sehingga likuiditas di dunia mengetat. Juga ada pengaruh dari krisis energi dan gangguan rantai pasok akibat perang antara Rusia dan Ukraina.

Atas dasar ini, respons yang lebih tepat dalam menghadapi tingginya dolar saat ini adalah dengan membiarkan nilai tukar rupiah mengalami penyesuaian, sambil menggunakan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi tetap dekat dengan targetnya. 

 

Indeks Dolar AS Menguat

Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pada perdagangan Senin, Dolar AS kembali ditutup menguat. Berita Inggris akan mengajukan pajak dan rencana pengeluarannya dalam upaya untuk meyakinkan pasar setelah gejolak terkait dengan dimulainya perdana menteri baru Perdana Menteri Liz Truss.

Hal ini membuat dolar tampaknya berhenti untuk bernapas setelah angka inflasi AS yang panas minggu lalu memperkuat taruhan kenaikan suku bunga agresif lainnya pada pertemuan FOMC berikutnya di awal November.

Departemen Keuangan Inggris mengumumkan Senin pagi Menteri Keuangan Jeremy Hunt akan mengumumkan pajak baru dan rencana pengeluaran di akhir sesi, dua minggu lebih awal dari yang diperkirakan, dalam upaya untuk menenangkan pasar yang telah digoyahkan oleh program ekonomi pendahulunya.

Pasar obligasi Inggris, dan sterling, terpukul keras oleh rencana awal Perdana Menteri baru Liz Truss untuk mendanai pemotongan pajak besar-besaran dengan pinjaman, mengakibatkan Bank of England turun tangan untuk memulihkan ketenangan, mengumumkan program pembelian obligasi darurat yang berakhir pada hari Jumat.

Anggota Dewan Pemerintahan Bank Sentral Eropa Martins Kazaks mendukung kenaikan 75 basis poin bulan ini dan 50 atau 75 bps lainnya pada pertemuan akhir 2022 pada bulan Desember, tergantung pada data dan prospek harga.

Surplus 29 Bulan Beruntun, Neraca Perdagangan RI Menang Lawan AS dan India

Proyeksi Neraca Perdagangan Indonesia
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (14/4/2022). Kenaikan harga komoditas global di tengah perang Rusia-Ukraina tetap menjadi pendorong utama terjadinya surplus yang besar karena mendorong kinerja ekspor Indonesia. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 masih mencatatkan surplus. Neraca perdagangan Indonesia pada bulan lalu tercatat surplus sebesar USD 4,99 miliar atau setara Rp 77,26 triliun.

"Pada September 2022 neraca perdagangan barang masih mencatatkan surplus USD 4,99 milar. Ini membukukan surplus selama 29 bulan berturut-turut kalau kita lihat sejak Mei 2020," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Senin (17/10).

Surplus perdagangan barang ini tercermin dari total nilai ekspor pada September 2022 sebesar USD 24,80 miliar atau setara Rp 384,19 triliun. Sementara itu kinerja impor tercatat USD 19,81 miliar atau setara Rp 306,77 triliun.

"Pada september 2022 ini bahwa nilai ekspor sebesar USD 24,80 miliar sementara impor USD 19,81 miliar," katanya.

Lebih lanjut Setianto menjelaskan neraca perdagangan komoditas non migas mencatatkan surplus USD 7,09 miliar. Adapun penyumbang surplus terbesar yaitu bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan atau nabati, serta besi dan baja.

Sedangkan neraca perdagangan untuk komoditas migas menunjukkan defisit USD 2,10 miliar. Kinerja ini utamanya disumbang dari komoditas minyak mentah dan hasil minyak.

Berdasarkan Negara

Neraca Perdagangan RI
Petugas beraktivitas di area bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Setianto mengatakan Indonesia mengalami surplus perdagangan non migas dengan tiga negara yakni Amerika Serikat (AS), India dan Filipina.

Indonesia dengan AS mengalami surplus sebesar USD 1,25 miliar. Terbesar untuk komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, alas kaki, lemak dan minyak hewani.

Dengan India, surplus perdagangannya mencapai USD 1,21 miliar.Penyumbang terbesarnya pada komoditas lemak dan minyak hewan, bahan bakar mineral, serta besi dan baja.

Sedangkan dengan Filipina dengan nilai surplusnya mencapai USD 1,13 milar yang didorong oleh komoditas bahan bakar mineral, kendaraan dan bagiannya, bijih logam, serta terak dan abu. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya