Liputan6.com, Jakarta - Energi baru terbarukan (EBT) dinilai lebih hemat biaya dibanding tetap bergantung pada bahan bakar fosil. Hal tersebut terungkap dalam laporan bersama International Energy Agency (IRENA) dan Kementerian ESDM. Sayangnya, energi baru terbarukan (EBT) belum banyak dimanfaatkan di Indonesia.
Direktur Jenderal IRENA Francesco La Camera menjelaskan, dengan populasi Indonesia yang diproyeksi mencapai 335 juta orang selama tiga dekade mendatang, permintaan listrik diperkirakan tumbuh setidaknya lima kali lipat menjadi lebih dari 1.700 terawatt jam (TWh) dari tingkat saat ini.
Untuk memenuhi permintaan itu, laporan bersama ini merekomendasikan untuk meningkatkan sumber daya utama yang terbarukan seperti surya, bioenergi, panas bumi.
Advertisement
“Indonesia dapat menetapkan dirinya pada jalur menuju net zero emissions dengan biaya lebih rendah daripada alternatif yang ada, asal pemerintah menerapkan langkah-langkah seperti yang direkomendasikan dalam Outlook, dan mendapat dukungan internasional yang dibutuhkan,” kata Francesco dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/10/2022).
Menurut Outlook ini, selama periode hingga 2050 dalam skenario rencana energi, Indonesia membelanjakan USD 10,7 triliun untuk sistem energi, sementara dengan skenario 1,5 derajat (1,5-S), negara hanya akan menghabiskan USD 10,1 hingga USD 10,3 triliun. Karena itulah, merencanakan sistem energi di jalur 1,5 derajat secara keseluruhan lebih murah, menghemat antara USD 400 miliar hingga USD 600 miliar secara kumulatif hingga 2050.
Outlook juga mengungkapkan, dalam 1,5-S, biaya bahan bakar dan listrik yang digunakan di semua sektor penggunaan akhir mencapai lebih dari USD 7 triliun untuk periode hingga 2050—angka ini setara dengan 69 persen dari total biaya sistem energi.
Di dalam Outlook ini, terdapat tiga skenario dekarbonisasi untuk sistem energi Indonesia yang keseluruhan skenario menghasilkan total biaya sistem energi yang lebih rendah dibanding skenario energi yang direncanakan pemerintah.
“Transisi energi sangat penting bagi Indonesia, dan kami berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dan telah berjanji mencapai target Net Zero Emissions (NZE) yang akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Mengurangi Biaya Eksternalitas
Temuan lain yang juga terungkap dari Outlook ini adalah bahwa transisi dari bahan bakar fosil membantu mengurangi biaya eksternalitas yang terkait dengan polusi udara dan perubahan iklim.
Dengan skenario 1,5 derajat, biaya eksternalitas tahunan yang dapat dihindari antara USD 200 miliar hingga USD 635 miliar.
Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia berpotensi menghemat antara USD 20 miliar dan USD 38 miliar per tahun atau sekitar 2 — 4 persen dari PDB saat ini jika bertransisi ke jalur dekarbonisasi pada pertengahan abad.
Untuk merealisasikan penghematan tersebut, Outlook ini merekomendasikan sembilan tindakan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia, yang di antara diklasifikasi ke dalam kerangka regulasi dan hukum.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia diminta untuk melanjutkan perampingan proses pengadaan energi terbarukan, mengembangkan kerangka peraturan yang jelas dengan lelang energi terbarukan yang efektif dan mekanisme feed in tariff (FiT) yang berfungsi dengan baik.
Advertisement
Rekomendasi Lain
Dua rekomendasi lain yang terkait regulasi dan hukum yaitu mengembangkan solusi untuk menciptakan pasar energi terbarukan yang terdistribusi seperti membuat mekanisme remunerasi yang menarik bagi konsumen, memungkinkan partisipasi investor swasta di pasar mini dan off-grid.
Selain itu juga mengatasi hambatan regulasi dan pasar dalam PPA, seperti meninjau syarat dan ketentuan PPA energi terbarukan saat ini demi mengatasi kekhawatiran investor.
La Camera menegaskan, diberkahi dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki posisi unik untuk mengembangkan sistem energi berkelanjutan yang dapat mendukung pembangunan sosial-ekonomi, mengatasi perubahan iklim, sekaligus mencapai ketahanan dan ketahanan energi.