Liputan6.com, Jakarta - Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan negara-negara di dunia untuk membantu masyarakat dengan tagihan energi yang melonjak.
Malpass juga menyebut, skema dukungan Covid-19 belum cukup ditargetkan untuk mereka yang paling rentan. Pelunasan utang untuk skema tersebut juga akan membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
Baca Juga
"Pemerintah mengatakan mereka akan mengurus semua orang, tapi biayanya terlalu mahal," ujar Malpass, dikutip dari BBC, Rabu (26/10/2022).
Advertisement
Menurutnya, skema-skema tersebut akan mendorong utang global ke tingkat rekor.
Malpass mengatakan kepada BBC World Service bahwa harus ada jaring pengaman sosial, dan beberapa perlindungan bagi masyarakat rentan selama krisis.
Dia menekankan, subsidi harus bersifat sementara dan ditujukan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Tetapi Malpass menyebut banyak dari subsidi selama pandemi Covid-19 tidak ditargetkan. "Subisidi dibagikan ke semua orang tanpa target... dan sekarang konsekuensinya datang.
"Orang-orang akan dibiarkan selama bertahun-tahun dan bahkan puluhan tahun membayar utang itu," tambahnya.
Pernyataan Malpass datang setelah sebuah penelitian terpisah menunjukkan skema dukungan energi di Inggris menelan biaya yang terlalu mahal.
Pemerintah Inggris membatasi tagihan rata-rata untuk semua rumah tangga hingga 2.500 poundsterling antara setahun atau enam bulan, tetapi akan meninjau dukungan yang ditawarkan mulai April 2023.
Namun, National Institute of Economic and Social Research mengatakan skema bantuan di Inggris dapat menelan biaya sekitar 30 miliar poundtserling karena tidak ditargetkan.
Dikatakan juga bahwa, rumah tangga dapat menghemat hingga 20 miliar poundsterling per tahun jika mereka diberi insentif untuk berinvestasi dalam langkah-langkah penghematan energi seperti panel surya.
Â
Utang Global Sudah Capai USD 305 triliun
Institute of International Finance melaporkan bahwa utang global telah mencapai USD 305 triliun atau sekitar Rp 4.7kuintiliun pada awal tahun dan diperkirakan akan terus meningkat.
Perang di Ukraina menyebabkan harga energi melonjak. Di seluruh Eropa, pemerintah telah memperkenalkan subsidi energi untuk membantu rumah tangga membayar kenaikan harga.
Krisis energi terjadi ketika banyak negara di dunia telah mengantongi utang dalam jumlah besar.
Dana Moneter Internasional memperkirakan inflasi global akan mencapai puncak tahun ini di angka 9,5 persen dan tidak akan mulai turun sampai tahun 2024.
Masalah ini dikawatirkan bisa menyebabkan banyak negara berpenghasilan rendah gagal membayar pinjaman dan mendorong masyarakat rentan ke dalam kemiskinan.
Advertisement
Saran Ekonom Bank Dunia Agar Indonesia Tak Kena Getah Ancaman Resesi Ekonomi
Ekonom Utama Bank Dunia, Habib Rab mengungkapkan tips untuk Indonesia dalam bersiap menghadapi ancaman resesi 2023.
"Yang penting adalah menjaga keseimbangan yang sehat antara apa yang terjadi pada kebijakan suku bunga, tetapi juga kebijakan fiskal, makroprudensial, dan reformasi struktural," katanya dalam SOE Internasional Conference, dikutip Selasa (18/10/2022).
Menurutnya, hal itu untuk memastikan bahwa inflasi dapat dikelola bersamaan dengan menghindari keruntuhan total dalam pertumbuhan ekonomi.
Habib Rab selanjutnya mengatakan, 70 persen ekonomi global menurun secara signifikan pada pertengahan 2022 dibandingkan dengan awal tahun ini.Â
"Satu-satunya pengecualian adalah beberapa negara berkembang yang merupakan eksportir komoditas, termasuk Indonesia," ungkap dia.
Dalam presentasinya, Habib Rab membeberkan prediksi Bank Dunia, bahwa pada 2022 dan 2023 pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan tumbuh tinggi dengan inflasi yang lebih rendah dibandingkan negara-negara ekonomi besar.
Meskipun demikian, satu persen penurunan pertumbuhan ekonomi di negara anggota G7 maupun China bisa mendorong perlambatan ekonomi negara-negara besar di Asia Timur dan Pasifik dari 0,5 hingga 1 persen.
"Jadi situasinya akan lebih baik dibandingkan dengan negara di wilayah lain. Tapi kita tidak melihat ruang kepuasan karena perlambatan ekonomi global tetap akan berdampak terhadap kawasan (Asia Timur dan Pasifik)," ujarnya.
"Diperlukan keseimbangan dalam pengetatan kebijakan, agar tingkat suku bunga, nilai tukar, dan kontrol modal terjaga," lanjut Habib Rab.
Adapun kerangka kerja untuk merestrukturisasi utang, baik utang pemerintah maupun pelaku usaha, yang meningkat signifikan di sebagian besar negara.
"Pengelolaan peningkatan utang memerlukan kerangka kerja restrukturisasi utang yang telah terlihat di krisis sebelumnya," jelasnya.
Habib Rab menambahkan, langkah ini penting guna memungkinkan persiapan dalam neraca perbankan dan perusahaan sehingga kejutan yang sementara tidak akan berdampak terhadap penurunan output permanen.