Liputan6.com, Jakarta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai penyebaran informasi terkait pemutusan hubungan kerja atau PHK massal di industri tekstil merupakan akal-akalan para pengusaha. Tujuannya agar Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 tidak mengalami kenaikan.
"Tidak ada PHK terhadap 45 ribu garmen dan tekstil sebagaimana yang disebut kalangan pengusaha," kata Presiden KSPI Said Iqbal saat dikonfirmasi Merdeka.com di Jakarta, Rabu (9/11).
Baca Juga
Said melanjutkan, pemberitaan mengenai PHK massal di industri otomotif juga tidak benar adanya. Berdasarkan catatan KSPI, saat ini belum ada aksi PHK massal yang dilaporkan oleh anggotanya.
Advertisement
"Tidak benar ada PHK di sektor automotif. Itu bohong, karena 70 persen perusahaan otomotif adalah anggota FSPMI. Dan kami melihat tidak ada PHK," tegasnya.
Said mengatakan, isu PHK massal sengaja dihembuskan oleh para pengusaha agar seakan-akan kinerja sektor bisnis di Indonesia masih menghadapi kesulitan. Padahal, kinerja ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan meski dihadapkan pada persoalan ketegangan geopolitik dunia akibat kian memanasnya konflik Rusia dan Ukraina.
"Pengusaha hitam memanfaatkan situasi ini untuk meminta tidak ada menaikan upah dan melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing," bebernya.
Oleh karena itu, KSPI mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tak terpengaruh oleh isu PHK massal yang kian santer disuarakan sejumlah pengusaha dalam memutuskan kenaikan UMP 2023.
"Jangan takut-takuti rakyat. Itu tugasmu," ucap Said Iqbal.
Permintaan Loyo, Pengusaha Tekstil PHK 45.000 Karyawan di 2022
Sebelumnya, Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah merumahkan sebanyak 45 ribu karyawan di sepanjang tahun 2022. Kabar pahit ini disampaikan secara langsung oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja.
"45 ribu karyawan industri tekstil di rumahkan, itu data dari anggota seperti itu," kata Jemmy saat dikonfirmasi Merdeka.com di Jakarta, Rabu (26/10).
Jemmy menerangkan, aksi PHK massal ini tak lepas dari turunnya permintaan akan produk tekstil Indonesia imbas lonjakan inflasi global yang disebabkan ketegangan geopolitik dunia. Terutama, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa sebagai pasar utama ekspor produk tekstil asal Indonesia.
Menurut Jemmy, akibat lonjakan inflasi tersebut membuat daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor produk tekstil Indonesia melemah. Sehingga, mereka lebih memilih untuk menunda kegiatan belanja pakaian di tengah situasi ekonomi sulit.
Jemmy menambahkan, pelemahan permintaan produk tekstil dalam negeri juga diperparah oleh aksi agresif banyak bank sentral negara maju untuk menaikkan suku bunga acuan. Alhasil, masyarakat dunia tengah saat ini tengah dibebani kenaikan biaya cicilan kredit.
"Jadi, mereka (konsumen) utamakan untuk kebutuhan pangan dulu makanan. Sedangkan tekstil bukan kebutuhan primer," ujarnya.
Advertisement
Gelombang PHK Mengancam, Pengusaha Tagih Insentif bagi Industri
Industri padat karya dari berbagai sektor mengalami tekanan berat imbas dari situasi ekonomi global. Sejumlah perusahaan tidak mampu bertahan sehingga terpaksa tutup pabrik dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya.
Jika tak ditangani dengan tepat, situasi ini dapat menimbulkan gelombang PHK yang lebih besar. Itulah sebabnya, pemerintah diminta untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tetap positif.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan di tengah berbagai tantangan yang ada seperti risiko resesi global, inflasi energi, krisis pangan yang terjadi, ia bersyukur tren perekonomian terus membaik. Untuk menjaga momentum pertumbuhan agar tetap positif, Arsjad berharap pemerintah dapat terus memberikan dukungan bagi dunia usaha dan sektor industri.
“Salah satunya melalui pemberian insentif fiskal dan nonfiskal ke industri-industri yang merupakan motor penggerak perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Arsjad mengatakan, dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal terhadap industri padat karya merupakan langkah krusial di tengah ancaman badai gelombang PHK, seperti yang masih berlangsung akhir-akhir ini akibat tekanan pandemi.
Seperti diketahui gelombang PHK telah terjadi di berbagai wilayah akibat tekanan ekonomi global. Di Jawa Barat misalnya, setidaknya 18 pabrik garmen terpaksa tutup sehingga para pekerjanya kehilangan pekerjaan.
Industri tekstil dan produk tekstil kini tengah anjlok kinerjanya akibat menurunnya permintaan ekspor akibat perlambatan ekonomi, kenaikan inflasi, dan tekanan pasar lokal. Dengan tekanan yang sangat tinggi di sektor ini, sebanyak 500 ribu karyawan terancam dirumahkan atau terpaksa mengalami PHK.
Penurunan Kinerja
Sektor padat karya lainnya yang menunjukkan penurunan kinerja secara signifikan adalah industri hasil tembakau. Profitabilitas perusahaan rokok terus mengalami penurunan akibat beban cukai yang terlalu tinggi di saat situasi ekonomi yang tidak pasti. Sejumlah perusahaan rokok besar yang biasanya meraih cuan kini terpaksa mengalami penurunan laba bersih yang signifikan.
Terbaru, emiten rokok seperti PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) melaporkan penurunan laba yang signifikan pada kuartal-III 2022. Perolehan laba bersih kedua perseroan ini turun jauh jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya, bahkan lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan kinerja pada 2019 sebelum pandemi COVID-19.
Arsjad pun menyoroti secara khusus akan kelangsungan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja ini. Dia berharap industri padat karya agar diberikan kebijakan yang tepat.
“Industri padat karya memiliki dampak pengganda yang tinggi karena mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan menjaga daya beli masyarakat terutama di masa penuh ketidakpastian seperti ini. Dampaknya terhadap ekonomi sangat besar. Karena itu, kebijakannya harus tepat untuk menyikapi baik industri yang sedang berkembang, maupun industri yang tertekan akibat pelemahan daya beli masyarakat luas,” katanya.
Advertisement