Kendalikan Inflasi, BI Minta Pemda Atur Waktu Produksi Pangan Petani

Produk pangan masih menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Des 2022, 14:10 WIB
Diterbitkan 09 Des 2022, 14:10 WIB
FOTO: Panen Padi Rutin di Kawasan Ujung Menteng
Petani memanen padi dari Sawah Abadi di kawasan Ujung Menteng, Jakarta, Rabu (23/2/2022). Produk pangan masih menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi di Indonesia. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Produk pangan masih menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi di Indonesia. Setidaknya 70 persen inflasi nasional disumbang dari cabai hingga telur yang menjadi konsumsi masyarakat.

Dalam rangka menekan inflasi pangan tersebut, Bank Indonesia membuat program nasional penanaman cabai di pekarangan rumah. Sehingga kebutuhan cabai di rumah tangga bisa terpenuhi dengan cara sendiri.

"Masalah pangan itu menymbangkan sekitar 70 persen ke inflasi, padahal kalau kita lihat masalah pangannya cabai, bawang merah, telur itu makanan yang dari dulu kita makan sehari-hari," kata Deputi Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti dalam acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Wilayah Bali Nusra di Bali, Jumat, (9/12).

Dengan masyarakat melakukan penanaman cabai di rumah, bisa mengurangi permintaan cabai di pasaran. Maka inflasi pada komoditas pangan tidak meningkat bisa berkurang.

"Bayangkan kalau semua keluarga melakukan hal yang sama. Tadi kita lihat betapa mudahnya, tinggal tambah pupuk aja," jelasnya.

Hanya saja kata Destry, penanaman cabai di pekarangan harus diatur. Waktu penanaman cabai harus bisa diatur agar harga cabai tidak terlalu rendah di pasaran.

"Tapi tolong dipikirkan, kalau semua tanam cabai, kemudian panen sama-sama harganya ini akan turun. Yang menderita petani cabai," kata dia.

Sehingga dia menilai pemerintah khususnya yang di daerah harus bisa memetakan produksi pangan. Sehingga untuk komoditi yang sama bisa dipanen tidak dalam waktu yang sama.

"Jadi ini harus ada penyeimbang. Makanya ada Bapanas dan Bulog yang sekarang juga beras lagi hilang. Jadi Bapak-Ibu harus punya mapping," kata Destry.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Arahan Tegas Jokowi soal Inflasi: Kita Tak Bisa Main-Main!

Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Bank Indonesia meyakini penyelesaian inflasi tinggi bisa diselesaikan dengan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Destry Damayanti menyebut pemerintah daerah menjadi kunci utama pengendalian inflasi. Sebab inflasi pangan menjadi faktor pendorong utama kenaikan inflasi secara nasional.

"Saya yakin sekali masalah inflasi pangan ini akan bisa terkendali karena memang pada akhirnya inflasi pangan ini ada di daerah dan tidak semua bisa di-mapping dari pusat," kata Destry dalam acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Wilayah Bali Nusra di Bali, Jumat, (9/12).

Destry menuturkan pada Agustus 2022 lalu, tingkat inflasi pangan mencapai titik tertingginya yakni 12 persen. Hal ini pun membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dengan memerintahkan dibentuknya tim pengendali inflasi.

"Pada saat itu Presiden langsung mengadakan rapat dan kita semua diundang saya mewakili Gubernur. Arahan beliau jelas sekali. Kita tidak bisa bermain main dengan inflasi ini," ungkap Destry.

Dunia ekonomi kata Destry menganggap inflasi sebagai penyakit yang harus dihindari karena bisa mengganggu tingkat kesejahteraan masyarakat. Daya beli masyarakat bisa turun ketika harga-harga naik namun pendapatan masyarakat tetap.

"Inflasi menyebabkan harga naik, kalau harga naik pendapatan kita tidak naik, akhirnya daya beli dari pendapatan kita mengurang," kata Destry.

Dia mencontohkan, biasanya seseorang membeli nasi bungkus satu lengkap lauknya. Namun karena inflasi tinggi, orang tersebut hanya bisa membeli nasi dengan lauk telur.

Kurangi Daya Beli

Akibat Covid-19, BPS Catat Inflasi Sebesar 0,08 Persen Pada April
Pedagang menata dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (5/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2020 sebesar 0,08% yang disebabkan permintaan barang dan jasa turun drastis akibat pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bukan hanya mengurangi daya beli masyarakat, kenaikan inflasi yang tinggi kata Destry bisa berakibat fatal.

"Kalau ini terus tidak bisa terkendali pada akhirnya adalah instabilitas sosial ini bisa mengarah ke yang lain-lain," kata dia.

Sehingga, menurut Destry Pemda memiliki peran yang penting dalam mengendalikan inflasi. Mengingat bahan pangan banyak dihasilkan dari daerah. Selain itu menggalakkan kembali kerja sama antar daerah untuk saling memenuhi kebutuhan yang tidak bisa diproduksi sendiri.

"Pemda harus punya mapping, mana yang jadi lumbung pangan, dan tingkatkan perdagangan antar daerah atau wilayah," kata dia.

"Makanya kita harapkan peran aktif Pemda mau provinsi atau kabupaten/kota untuk bersama-sama menangani inflasi," pungkasnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com 

Chatib Basri: AS Harus Resesi Demi Turunkan Inflasi

Indeks harga konsumen Amerika Serikat
Pejalan kaki melewati papan nama yang menawarkan uang tunai untuk barang berharga di luar toko gadai di Los Angeles, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi AS pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Ekonom Senior dan Co-Founder Creco Research Institute Muhammad Chatib Basri, mengatakan bahwa Amerika Serikat memerlukan resesi untuk menurunkan inflasi yang tinggi.

Hal itu melihat dari data beveridge curve yakni ketidakseimbangan antara tingkat lowongan pekerjaan yang tinggi, sedangkan tingkat penganggurannya rendah.

“Yang menarik dari beverage curve di Amerika Serikat adalah bahwa lowongan pekerjaannya itu besar sekali walaupun unemployment sudah rendah. Artinya bahwa ada pekerjaan yang ditawarkan tapi orangnya tidak ada,” kata Chatib Basri dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2023, Senin (5/12/2022).

Hal itu bisa terjadi lantaran terjadi ketidakcocokan. Sebab, lowongan pekerjaan tersebut meminta orangnya hadir langsung ke tempat kerja. Sementara, orang itu menginginkan pekerjaan yang remote alias tidak perlu datang ke tempat kerja.

“Yang terjadi akibat dari Mismatch karena yang diminta mungkin pekerjaan yang membutuhkan orangnya hadir in person, tetapi yang bersedia bekerja memilih untuk remote,” ujarnya.

Menurut dia, di dalam kondisi ini maka implikasinya adalah walaupun tingkat pengangguran di Amerika sudah rendah 3,7 persen, tetapi lowongan pekerjaan yang diminta itu masih jauh lebih besar.

“Bisa dibayangkan kalau yang minta tenaga kerja itu banyak sementara supply-nya tidak ada, maka akibatnya upahnya akan naik kalau upahnya naik maka inflasi di Amerika akan naik,” ujarnya.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya