Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengajak para pelaku perbankan alias bankir (banker) menyiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan gejolak di 2023.
Salah satunya bersiap menghadapi potensi adanya lonjakan suku bunga acuan untuk meredam inflasi. Meskipun, Sri Mulyani menambahkan, situasi itu justru jadi berkah bagi bankir yang ikut menikmati kenaikan bunga kredit bank.
Baca Juga
"Tapi sebetulnya saya bicara dengan para bankers, kalau bicara tentang interest rate naik itu Anda sebetulnya malah menari-nari di atas penderitaan semua orang," ujar Sri Mulyani di acara CEO Banking Forum, Senin (9/1/2023).
Advertisement
"Karena saya beda sekali kalau bicara tentang kebaikan suku bunga, kayaknya wajah Anda malah lebih bahagia," imbuh dia sembari berkelakar.
Sri Mulyani lantas berpikir, para bankir mungkin berasumsi jika dirinya bisa mengelola dan menstabilkan ekonomi, maka kenaikan bunga acuan tak jadi persoalan.
"Tapi, itu tidak otomatis seperti itu, karena cost of fund yang tinggi pasti akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara menyeluruh," tegas Sri Mulyani.
Sebagai contoh, ia berkaca pada yang terjadi di 2022 sebagai tahun yang sungguh tidak biasa. Sebagai contoh, bank sentral Amerika Serikat The Fed yang harus menaikan suku bunga acuan hingga 425 basis poin (bps) dalam setahun, lantaran angka inflasi sempat menyentuh di atas 9 persen.
Senada, Eropa dan Inggris yang kerap deflasi hingga interest rate sempat minus 0,25 bps, tiba-tiba berhadapan dengan double digit inflation di atas 10-11 persen di 2022.
"Anda barangkali juga melihat, bagaimana Inggris yang selama ini para banker saya yakin jadi salah satu kiblatnya, mengalami pergolakan politik. Ganti menteri keuangan, salah bikin budget, dan ekonominya collapse. Ganti politiknya, sampai tiga kali perdana menteri dari partai politik yang sama," tuturnya.
"So 2022 was not ordinary time. Itu adalah waktu dimana sesudah tahun ketiga dunia dihadapkan pada pandemi, which is was not over," ujar Sri Mulyani.
Tren Kenaikan Suku Bunga Global Jadi Mimpi Buruk Indonesia
Sebelumnya, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengatakan, meningkatnya tren suku bunga di beberapa negara maju menjadi resiko paling berbahaya bagi perekonomian Indonesia di tahun 2023. Sementara, meningkatnya inflasi secara global tidak terlalu berdampak bagi Indonesia.
"Paling menyeramkan suku bunga tinggi sebenarnya karena suku bunga tinggi itulah yang kelihatannya menjadi salah satu risiko terbesar. Bukan salah satu, malah risiko terbesar," kata Awalil Rizky dalam acara Bright Institute "Insight Economic 2023: Ancaman Krisis Ekonomi" Selasa (27/12/2022).
Dia menegaskan, jika suku bunga di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya sudah semakin tinggi, maka akan membuat aliran modal justru beralih dari negara berkembang. "Ya duit itu kan air, dia mengalirnya kesana. Kurang lebih seperti itu, likuiditas bisa kesulitan," ujarnya.
Oleh karena itu, jika kondisi eksternal tersebut semakin tidak menguntungkan pada tahun 2023 mendatang, maka fundamental ekonomi Indonesia bisa rapuh atau tidak cukup kuat, karena tidak mampu menghadapi ketidakpastian global.
"Jadi, fundamental mendefinisikan dari yang kita pakai, apa, bagaimana, dan untuk siapa barang dan jasa di negara tersebut diproduksi. Bukan seperti makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, padahal harus melihat seluruhnya fundamental ekonomi ini kuat atau tidak," jelasnya.
Meskipun Pemerintah dan Bank Indonesia menyatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat, namun menurutnya, menilai fundamental ekonomi itu tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonominya, inflasi yang rendah, angka pengangguran yang menurun, dan lainnya.
Advertisement
Fundamental Ekonomi
Melainkan, fundamental ekonomi adalah hal-hal yang mendasar dalam suati perekonomian yang memberi gambaran jawaban atas apa, bagaimana dan untuk apa barang dan jasa diproduksi dalam kurun waktu cukup panjang.
"Ini berbeda dengan definisi otoritas bahwa fundamental ekonomi itu makro ekonomi, bahkan ada yang menyebut pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, transaksi berjalan hanya itu saja. Padahal pengertiannya harus dilihat secara keseluruhan dan datanya tidak bisa data 1-2 tahun tapi 5 tahun ke atas, sehingga kita bisa melihat apakah fundamental suatu negara ini fundamentalnya kuat apa tidak," jelasnya.
Jika fundamental ekonomi hanya dilihat dari indikator secara makro saja, maka bukan berarti perekonomian suatu negara akan kuat. Namun, jika dilihat lebih mendalam fundamental ekonominya ada kemungkinan banyak resiko-resiko terjadinya krisis, sehingga diperlukan mitigasi.
"Hal itu membuat kita benar-benar rentan di 2023, kalau melihatnya dari indikator-indikator saja secara makro ekonomi tidak terlalu buruk its oke. Pengangguran juga berkurang, dan inflasi tidak tinggi-tinggi amat, tetapi kalau lihat jeroannya bagaimana sistemnya, dari luar kelihatannya baik tapi resikonya tinggi untuk terjadi krisis," pungkasnya.