Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia memperkirakan tingkat inflasi Indonesia di semester kedua tahun ini akan melandai. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebut tingkat inflasi di setelah September akan turun di bawah 4 persen.
“Menurut saya inflasi inti masih sekitar 3 persen. Namun IHK akan turun menjadi di bawah 4 persen, (yakni) 3,5 persen pada semester kedua setelah September ,” kata Perry di Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Bali, Kamis (30/3).
Baca Juga
Perry menjelaskan tingkat inflasi akan melandai setelah bulan September karena tahun lalu peningkatan terjadi di bulan yang sama. Tepatnya pasca pemerintah menaikkan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak bersubsidi.
Advertisement
“Karena efek dasar penyesuaian harga BBM tahun lalu,” kata Perry.
Perry menjelaskan dunia saat ini masih menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Apalagi saat ini krisis sedang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Pulihnya ekonomi di China pun tidak mampu membuat kondisi menjadi lebih baik.
“Kami sedang menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang terjadi di Eropa, di AS, berkat Cina pulih. Tetapi tetap saja inilah yang kami lihat,” tuturnya.
Tingkat Inflasi
Hal ini yang kata Perry membuat tingkat inflasi dalam waktu beberapa tahun ke depan masih akan terus tinggi. Meskipun saat ini trennya melandai, namun tetap saja berada di level yang tinggi.
“Inflasi masih tinggi meski sudah menurun. Mungkin tahun depan kita akan kembali ke inflasi jangka panjang,” kata dia.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi Indonesia secara tahunan pada bulan Januari 2023 tercatat 5,28 persen. Sementara itu, tingkat inflasi di bulan Februari sebesar 5,47 persen.
Lonjakan Inflasi jadi Risiko Baru Perekonomian Global, Sri Mulyani Pastikan Tak Lengah
Dalam hampir 3 tahun terakhir, pandemi Covid-19 menimbulkan guncangan bagi perekomonian global, karena banyak negara yang memberlakukan lockdown hingga memperlambat aktivitas ekonomi.
Meski dunia sudah melalui pandemi, khususnya Indonesia yang berhasil menyelamatkan ekonominya, risiko pada perekomonian belum memudar.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, lonjakan inflasi di sejumlah negara maju kini menjadi risiko terbesar bagi ekonomi global.
Hal itu disampaikan Menkeu dalam Gala Seminar ASEAN 2023: “Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience” pada Rabu sore (29/3/2023).
Hadir juga dalam seminar itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Gubernur Bangko Sentral Ng Pilipinas Felipe M Medalla.
"Saat kita berada di tahun 2022 Kita tahu bahwa dunia sedang berubah. Bukan lagi pandemi sebagai risiko terbesar, inflasi menjadi risiko terbesar secara global," kata Sri Mulyani saat memberikan paparan di Bali Nusa Dua Convention Center 1 (BNDCC 1), Nusa Dua, Bali Rabu (29/3/2023).
"Dan dengan itu respon dari bank sentral, khususnya The Fed dan Bank Sentral Eropa, yang menetapkan kenaikan yang sangat tajam, tentunya menciptakan perlombaan tambahan atau perubahan, baik untuk kebijakan makro maupun perekonomian secara umum," ujarnya.
Hal ini membuat Kementerian Keuangan dan otoritas di Tanah Air harus mengkalibrasi ulang bauran kebijakan mereka dengan Bank Indonesia.
Menkeu mengungkapkan, "selama pandemi saya bisa mendapatkan pembiayaan defisit dari bank sentral, tapi itu hanya selama pandemi, tetapi kami memanfaatkan semua ruang yang disediakan Gubernur Perry kepada kami".
"Kami menggunakan semua ruang, meskipun sebenarnya kami tidak membutuhkan pembiayaan ini karena defisit kami sebenarnya sangat rendah," lanjutnya.
"Kami menggunakannya untuk benar-benar membangun penyangga di tahun 2022, karena kami tahu di tahun 2023 kami akan terpukul keras oleh kenaikan suku bunga akibat inflasi (di negara maju dan penerbitan obligasi yang mahal," tambah Menkeu.
Advertisement
Dikalibrasi Ulang
Memasuki bulan ketiga tahun 2023, Sri Mulyani mengatakan, Pemerintah masih ada banyak penyangga uang tunai. "Tetapi kita tahu bahwa ini sebenarnya untuk melindungi kita dari situasi global yang sangat bergejolak," tambah dia.
Sehingga bauran kebijakan terus dikalibrasi ulang karena setiap tahun, tantangan datang dari sumber risiko yang berbeda. Tetapi fundamental ekonomi harus dipertahankan dan perlu dipastikan kuat dan sehat.
"Maka dalam hal itu muncul kembali Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas neraca pemerintah, dan jika kebijakan fiskalnya sehat dan kredibel, maka pekerjaan bank sentral juga akan lebih mudah karena mereka tidak hanya harus menstabilkan inflasi, juga menjaga stabilitas ekonomi," pungkasnya.
"Sepertinya terlihat dermawan, tetapi sebenarnya melayani kepentingan kita sendiri juga dalam hal ini, bahwa obligasi juga ada di neraca bank sentral. dan sekarang obligasi juga ada di neraca perbankan," imbuh Sri Mulyani.