Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi global dari IBM Institute for Business Value, mengungkapkan bahwa para eksekutif memperkirakan 40 persen dari tenaga kerja mereka akan membutuhkan pelatihan ulang sebagai dampak dari teknologi AI (Kecerdasan Buatan) dan otomatisasi selama tiga tahun ke depan.
Ini berarti sekitar 1,4 miliar orang–dari 3,4 miliar tenaga kerja global menurut Bank Dunia– perlu dilatih ulang dalam waktu dekat.
Baca Juga
Studi berjudul Augmented work for an automated, AI-driven world itu juga menunjukkan adanya kesenjangan antara pelaku usaha dan karyawan tentang prioritas di tempat kerja.
Advertisement
Studi tersebut menunjukkan, dengan AI yang siap untuk melakukan lebih banyak tugas manual dan berulang, karyawan yang disurvei mengungkapkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan yang lebih berdampak adalah faktor utama yang mereka pedulikan di luar kompensasi dan keamanan - lebih penting daripada pengaturan kerja yang fleksibel, peluang pertumbuhan, dan kesetaraan.
Namun, para pelaku usaha belum menyadari fakta ini.
Para eksekutif yang disurvei menempatkan pekerjaan yang berdampak sebagai faktor yang tidak terlalu penting bagi tenaga kerja mereka, dan justru menunjuk pengaturan kerja yang fleksibel sebagai hal terpenting di luar kompensasi dan keamanan.
Managing Partner IBM Indonesia Andrian Purnama menjelaskan, meskipun AI terus terimplementasi di hampir seluruh proses bisnis dalan suatu perusahaan, namun tenaga kerja manusia tetaplah menjadi keunggulan kompetitif utama bagi bisnis.
"Oleh karena itu, sangat penting bagi para eksekutif untuk dapat memimpin dan mengarahkan tenaga kerja mereka dalam melewati pergeseran ini dan memungkinkan mereka untuk sukses dan tetap berkembang di era baru AI generatif," kata Andrian dalam rilis yang dikutip Senin (25/9/2023).
Menurut Andrian, menjembatani kesenjangan ini sangatlah penting untuk memastikan tenaga kerja memfokuskan energi dan waktu mereka untuk melakukan pekerjaan yang lebih kreatif dan berdampak bagi perusahaan.
"Sedangkan AIÂ dan otomasi dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berulang dan lebih memakan waktu," kata dia.Â
Gagap teknologi
Para eksekutif yang disurvei, juga mengatakan bahwa membangun keterampilan baru bagi karyawan yang ada merupakan masalah pengelolaan talenta yang paling utama.
Gagap teknologi pun menjadi masalah talenta terpenting kedua, namun hanya 21 persen karyawan yang mengatakan bahwa kurangnya kecakapan teknis di seluruh tim mereka adalah tantangan utama sehari-hari.
Studi terbaru IBM memberikan rekomendasi tentang bagaimana para pemimpin dapat mengambil tindakan untuk mengatasi tantangan talenta mereka di era AI dan membantu organisasi mereka bertransformasi untuk masa depan, termasuk fokus pada keterampilan dan model operasi.
Advertisement
Metode Studi
Bekerja sama dengan Oxford Economics, IBM Institute for Business Value mensurvei 3.000 eksekutif C-suite global di 20 industri dan 28 negara dari seluruh wilayah utama.
Studi ini dilakukan pada bulan Desember 2022 dan Januari 2023, mensurvei peran pekerjaan, keterampilan, dan bagaimana pekerjaan diselesaikan.
IBV mensurvei hampir 370 eksekutif dari Australia, Jerman, India, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat pada bulan April dan Mei 2023 tentang pekerjaan dan keterampilan dalam konteks AI generatif.
Selain itu, IBV mensurvei lebih dari 21.000 pekerja di 22 negara pada bulan Desember 2022 untuk memahami ekspektasi dan motivasi mereka terhadap pengaturan kerja, mobilitas karier, dan pengalaman karyawan secara keseluruhan.