Transaksi QRIS Melonjak 87,9 Persen, Nilainya Capai Rp 56,9 Triliun

Bank Indonesia mencatat nominal transaksi QRIS tumbuh 87,90 persen (yoy) dan mencapai Rp56,92 triliun, dengan jumlah pengguna 41,84 juta

oleh Tira Santia diperbarui 19 Okt 2023, 20:20 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2023, 20:20 WIB
Fitur QRIS di Aplikasi SeaBank
Bank Indonesia mencatat nominal transaksi QRIS tumbuh 87,90 persen (yoy) dan mencapai Rp56,92 triliun, dengan jumlah pengguna 41,84 juta

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital tetap kuat didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal.

"Pada triwulan III 2023, nilai transaksi Uang Elektronik (UE) meningkat 10,34 persen (yoy) sehingga mencapai Rp116,54 triliun, sementara nilai transaksi digital banking tercatat Rp15.148,71 triliun atau tumbuh sebesar 12,83 persen (yoy)," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Oktober, Kamis (19/10/2023).

Disamping itu, BI juga mencatat nominal transaksi QRIS tumbuh 87,90 persen (yoy) dan mencapai Rp56,92 triliun, dengan jumlah pengguna 41,84 juta dan jumlah merchant 29,04 juta, di mana sebagian besar merupakan UMKM.

"Bank Indonesia terus mendorong akselerasi digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan kerja sama sistem pembayaran antarnegara guna mendorong inklusi ekonomi keuangan dan memperluas ekonomi dan keuangan digital," ujarnya.

Penggunaan Kartu ATM

Sementara itu, nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit mencapai Rp2.041,72 triliun atau turun sebesar 4,94 persen (yoy).

Dari sisi pengelolaan uang Rupiah, jumlah Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) pada triwulan III 2023 meningkat 6,16 persen (yoy) sehingga menjadi Rp961,59 triliun.

Lebih lanjut, Perry Warjiyo menegaskan, Bank Indonesia juga terus memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan kualitas yang terjaga di seluruh wilayah NKRI melalui program pengedaran uang Rupiah ke daerah Terluar, Terdepan, Terpencil (3T) serta kegiatan Kas Keliling, Kas Titipan dan Ekspedisi Rupiah Berdaulat.

Konflik Israel vs Palestina Jadi Biang Kerok BI Kerek Suku Bunga Acuan ke 6 Persen?

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Oktober, Kamis (19/10/2023). Perry mengatakan kredit perbankan pada September 2023 tumbuh. (Tira/Liputan6.com)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Oktober, Kamis (19/10/2023). Perry mengatakan kredit perbankan pada September 2023 tumbuh. (Tira/Liputan6.com)

 Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Kebijakan ini sedikit di luar dugaan, lantaran bank sentral telah menahan suku bunga acuannya selama 8 bulan beruntun.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, kebijakan menaikkan suku bunga acuan ini untuk mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.

 Mengingat, situasi ini justru menguntungkan mata uang Dolar Amerika (AS) yang justru mengalami tren penguatan terhadap mata uang dunia, termasuk Rupiah.

Selain itu, keputusan ini sebagai konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali. Pemerintah menargetkan inflasi tahun 2023 dan 2024 dalam kisaran sasaran 3,0 plus minus 1 persen.

 

Keputusan Tepat

BI Kembali Tahan Suku Bunga Acuan di Level 5,75 Persen di Maret 2023
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Maret 2023 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75 persen. Suku bunga Deposit Facility juga tetap pada level 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility ada di 6,50 persen.

Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengamini hal tersebut. Menurutnya, itu merupakan keputusan yang pas mengingat banyaknya ketidakpastian di luar yang potensi mengerek angka inflasi. Termasuk adanya konflik antara Israel vs Palestina yang semakin menggegerkan.

"BI berpendapat bahwa kenaikan BI7DRR di Oktober 2023 sebagai langkah pre-emptif untuk memitigasi dampak inflasi, yang disebabkan oleh ketidakpastian besar," ujar Josua dalam pesan tertulis kepada Liputan6.com, Kamis (19/10/2023).

Josua menilai, ada lima dinamika baru ketidakpastian global yang memicu kekhawatiran bank sentral. Pertama, ekonomi global rentan melemah, dimana selisih pertumbuhan antar negara cenderung melebar, sebelum akhirnya bisa stabil lagi di 2026.

"Kedua, tensi geopolitik di Timur Tengah dan El Nino bakal mendorong harga pangan dan energi, meningkatkan risiko inflasi global," kata Josua.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya