Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyoroti kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan jalan raya. Bahkan secara angka, itu sudah melampaui kemampuan anggaran pemerintah setempat.
"Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas Kota Jakarta Rp 65 triliun per tahun. Sedangkan Kota Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar sebesar Rp 12 triliun per tahun. Sudah melebihi APBD kotanya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (29/10/2023).
Baca Juga
Kerugian akibat macet itu muncul gara-gara penggunaan kendaraan pribadi masih terlalu besar. Sedangkan minat terhadap transportasi publik di Indonesia terhitung sangat minim.
Advertisement
Sebagai perbandingan, Djoko menyebut data GIZ yang dihimpun Mei 2023, modal share atau partisipasi masyarakat terhadap angkutan umum di Singapura, Hongkong dan Tokyo sudah di atas 50 persen.
Kuala Lumpur dan Bangkok kisaran 20-50 persen. Sedangkan kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan kurang dari 20 persen. Sementara dalam 5 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan kendaraan pribadi di Indonesia rata-rata 8 persen per tahun.
Parameter Kesuksesan
Djoko menilai, parameter berhasil atau tidaknya program angkutan massal sebenarnya bukan diukur dari untung ruginya perusahaan yang menyelenggarakan. Pasalnya, tidak ada perusahaan yang menyelenggarakan angkutan massal yang untung.
"Sebaliknya subsidi Pemerintah harus semakin besar tergantung dari berhasil atau tidaknya program angkutan massal tersebut," tegas dia.
Menurut dia, parameter mengukur keberhasilan program angkutan umum adalah berpindahnya pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Oleh sebab itu angkutan umum harus lebih menarik baik dari segi biaya, pelayanan maupun waktu tempuh.
"Makanya, Pemerintah harus all out dalam membangun angkutan umum yang menarik, murah, nyaman, aksesibilitasnya. Dan dapat dipastikan biaya akan lebih tinggi dari pendapatan tarifnya, karena targetnya bukan pendapatan, melainkan intangible cost berupa peningkatan keselamatan lalu lintas, kemacetan lalu lintas teratasi, berkurangnya penggunaan BBM, menurunnya pencemaran udara, menekan angka inflasi," paparnya.
"Dengan memprioritaskan dan meningkatkan sistem angkutan umum yang efisien, serta menyediakan insentif atau subsidi operasional dan infrastruktur yang diperlukan, maka pemerintah (termasuk pemda) dan masyarakat dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak negatif dari peningkatan jumlah kendaraan bermotor, kamecaten lalu lintas dan polusi dalam lingkungan perkotaan," ungkapnya.
Â
Kesenjangan Angkutan Masal
Di sisi lain, Djoko tak menyangkal adanya kesenjangan untuk menangani sistem angkutan massal. Kembali mengutip laporan GIZ, ia menyebut pemda belum memiliki kapasitas fiskal yang mencukupi untukmenerapkan sistem angkutan massal.
Kemudian, struktur kelembagaan metropolitan yang dapat mengintegrasikan pembangunan dan pengelolaan lintas batas administrasi dan lintas moda angkutan dalam satu wilayah metropolitan. Lalu, rencana mobilitas perkotaan terpadu sebagai dasar implementasi angkutan massal perkotaan, keahlian teknis untuk merencanakan, merancang, mengimplementasikan, dan mengoperasikan sistem angkutan massal secara memadai.
Sementara di tingkat pusat, perlu dukungan/inisiatif dari pemerintah pusat secara menyeluruh ke Pemerintah Daerah, termasuk knowledge sharing, pendampingan, insentif.
Untuk solusi jangka panjang, Djoko mengatakan itu perlu koordinasi lintas kementerian dalam merapikan regulasi guna mengatasi kerugian ekonomi akibat macet. Sementara untuk jangka pendek, pemerintah perlu untuk melakukan revisi terhadap PM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Umum Perkotaan.
Â
Advertisement
Solusi
Ia menyarankan adanya pemberian bimbingan kepada Pemerintah Daerah terkait pembentukan kelembagaan. Mewajibkan agar menyususun kebijakan dalam rangka melanjutkan penataan angkutan umum perkotaan dan pemberian subsidi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
"Koordinasi antar kementerian/lemabaga, khususnya Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong sektor transportasi umum. Penetapan peraturan fleksibilitas pengalihan operasional kendaraan lintas koridor," imbuhnya.
Lalu, mendorong push and pull strategy, seperti peningkatan tarif parkir pada ruas jalan tertentu, regulasi penggunaan angkutan umum untuk Aparat Sipil Negara (ASN) pada hari tertentu, regulasi penerapan ganjil genap pada ruas jalan tertentu, kartu berlangganan, menetapkan standarisasi sistem pembayaran/ e-ticketing, penetapan Service Level Agreement (SLA). Penetapan peraturan pergantian armada yang melebihi masa susut dalam BOK.
"Sementara untuk jangka menengah, persiapan pembentukan kelembagaan Mitra Instansi Pemerintahan (MIP) dan persiapan skema handover dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah," kata Djoko.