Liputan6.com, Jakarta - Perang Israel dengan Hamas di Jalur Gaza akan menelan biaya sekitar 200 miliar shekel atau USD 51 miliar. Biaya itu setara Rp 789,54 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran Rp 15.481).
Laporan tersebut disampaikan surat kabar Calcalist pada Minggu, 5 November 2023 yang mengutip angka awal dari Kementerian Keuangan. Harian tersebut menyebutkan perkiraan itu setara dengan 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang didasarkan pada perang yang berlangsung antara 8-12 bulan. Lantaran terbatasnya aktivitas di Gaza, tanpa partisipasi penuh Hizbullah Lebanon, Iran, Yaman dan sekitar 350 ribu warga Israel yang direkrut sebagai cadangan militer segera kembali bekerja.
Baca Juga
Dikutip dari Yahoo Finance, Senin (6/11/2023), Calcalist menggambarkan kementerian tersebut menganggap 200 miliar shekel sebagai perkiraan yang optimistis. Namun, kementerian mengatakan tidak mendukung data Calcalist.
Advertisement
Kelompok bersenjata Hamas dari Gaza melancarkan serangan paling mematikan terhadap warga sipil Israel pada 7 Oktober 2023. Sejak itu, Israel menyerang Gaza dengan tujuan membidik Hamas.
Calcalist mengatakan, setengah dari biaya itu akan dipakai untuk biaya pertahanan yang berjumlah sekitar 1 miliar shekel per hari. 40-60 miliar shekel lainnya berasal dari hilangnya pendapatan, 17-20 miliar shekel untuk kompensasi bisnis dan 10-20 miliar shekel untuk rehabilitasi.
Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich sebelumnya menuturkan, pemerintah Israel sedang mempersiapkan paket bantuan ekonomi bagi mereka yang terkena dampak serangan yang akan lebih besar dan lebih luas dibandingkan pandemi COVID-19.
Pada Kamis, 2 November 2023, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuturkan, pihaknya berkomitmen membantu semua pihak yang terkena dampak.
"Arahan saya jelas, buka keran dan salurkan dana kepada siapapun yang membutuhkan,” ujar dia tanpa menyebutkan angka.
"Sama seperti yang kami lakukan pada masa COVID-19. Dalam satu dekade terakhir, kami telah membangun perekonomian yang sangat kuat di sini dan bahkan jika perang menuntut dampak ekonomi dari kami, seperti yang terjadi saat ini, kami akan membayarnya tanpa ragu-ragu,” ia menambahkan.
S&P Turunkan Prospek Peringkat Israel
Sementara itu, lembaga pemeringkat internasional S&P memangkas prospek peringkat Israel menjadi “negatif”, sedangkan Moody’s dan Fitch meninjau ulang peringkat Israel untuk kemungkinan penurunan peringkat.
Perang Israel-Hamas Bakal Berdampak terhadap Ekonomi Eropa
Sebelumnya diberitakan, Goldman Sachs menilai perang Israel-Hamas dapat berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di zona euro kecuali tekanan harga energi tetap terkendali.
Dikutip dari CNBC, ditulis Minggu (5/11/2023),dalam sebuah riset, Analis Goldman Sachs, Katya Vashkinskaya menilai, konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung dapat pengaruhi ekonomi Eropa melalui perdagangan regional yang lebih rendah, kondisi keuangan lebih ketat, harga energi lebih tinggi dan kepercayaan konsumen yang rendah.
Kekhawatiran semakin meningkat di kalangan ekonom kalau konflik tersebut dapat meluas dan melanda Timur Tengah. Hal ini menyusul Israel dan Lebanon saling tembak rudal saat Israel terus memborbardir Gaza yang akibatkan banyak korban sipil dan krisis kemanusiaan yang semakin parah.
Ketegangan meski dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi Eropa melalui perdagangan yang lebih rendah dengan Timur Tengah, Vashkinskaya menyoroti paparan terhadap benua ini terbatas mengingat ekspor kawasan euro sekitar 0,4 persen produk domestik bruto (PDB) ke Israel dan negara-negara tetangganya, sedangkan paparan perdagangan Inggris lebih sedikit sekitar 0,2 persen terhadap PDB.
Ia mencatat kondisi keuangan yang lebih ketat dapat membebani pertumbuhan dan memperburuk hambatan yang ada pada aktivitas ekonomi akibat kenaikan suku bunga di kawasan euro dan Inggris.
Namun, Goldman Sachs tidak melihat pola yang jelas antara kondisi keuangan dan episode ketegangan sebelumnya di kawasan Eropa Timur.
“Cara paling penting dan berpotensi berdampak pada ketegangan yang dapat meluas ke ekonomi Eropa adalah melalui pasar minyak dan gas,” ujar Vashkinskaya.
Ia menuturkan, sejak konflik saat ini terjadi, pasar komoditas mengalami peningkatan volatilitas. Harga minyak mentah Brent dan gas alam Eropa masing-masing naik 9 persen dan 34 persen pada puncaknya.
Advertisement
Harga Minyak Melonjak
Tim komoditas Goldman Sachs menilai serangkaian skenario penurunan di mana harga minyak dapat naik antara 5 persen dan 20 persen, tergantung pada tingkat keparahan guncangan pasokan minyak.
"Kenaikan harga minyak 10 persen yang terus menerus biasanya menguarangi PDB riil kawasan Euro sekitar 0,2 persen setelah satu tahun, dan meningkatkan harga konsumen hampir 0,33pp selama periode tersebut, dengan dampak serupa yang diamati di Inggris,” ujar Vashkinskaya.
Ia menambahkan, harga minyak harus tetap tinggi secara konsisten. Hal ini sudah menjadi pertanyaan karena harga minyak mentah Brent hampir kembali ke tingkat sebelum konflik pada akhir Oktober 2023.
Ia menilai, perkembangan harga gas hadirkan tantangan lebih besar. Hal ini karena kenaikan harga didorong pengurangan ekspor LNG atau gas alam cair global dari ladang gas Israel. Selain itu, pasar gas saat ini kurang mampu merespons guncangan pasokan yang merugikan.
"Meskipun perkiraan tim komoditas kami menunjukkan peningkatan cukup besar pada harga gas alam Eropa jika terjadi skenario penurunan pasokan di kisaran 102-200 EUR/MWh, kami yakini respons kebijakan akan melanjutkan biaya energi yang ada atau memulai kembali biaya energi sebelumnya. Kebijakan dukungan akan menahan dampak laba yang dapat dibelanjakan dan mendukung perusahaan, jika risiko itu terwujud,” tutur dia.
Potensi Risiko
Kepada CNBC, Gubernur Bank of England Andrew Bailey menuturkan, dampak langsung dari konflik di pasar energi menimbulkan potensi risiko terhadap upaya bank sentral untuk kendalikan inflasi.
“Sejauh ini, menurut saya, kita belum melihat kenaikan harga energi yang nyata, dan itu jelas bagus. Tapi itu adalah sebuah risiko. Ini jelas merupakan risiko di masa depan,” ujar Bailey.
Harga minyak bergejolak sejak Hamas melancarkan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Bank Dunia memperingatkan dalam laporan triwulanan pada Senin, 30 Oktober 2023 kalau harga minyak mentah dapat naik hingga lebih dari USD 150 per barel jika konflik meningkat.
Vashkinskaya mencatat kawasan euro alami penurunan subtansial setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Maret 2022. Dampak yang sama belum pernah diamati secara historis bersamaan dengan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hamas. Akan tetapi, pengukuran ketidakpastian terkait konflik yang dilakukan Goldman Sachs mencapai rekor tertinggi pada Oktober 2023.
Advertisement