China Lebih Bahaya daripada AS Bagi Indonesia, Ini Buktinya

Ekonom mengungkapkan dampak dari perlambatan di negara mitra dagang utama, yaitu China dan Amerika Serikat terhadap kinerja ekspor Indonesia.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Nov 2023, 14:49 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2023, 14:44 WIB
Neraca Ekspor Perdagangan di April Melemah
Aktifitas kapal ekspor inpor di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,24 miliar . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Jakarta Ekonom mengungkapkan dampak dari perlambatan di negara mitra dagang utama, yaitu China dan Amerika Serikat terhadap kinerja ekspor Indonesia.

Seperti diketahui, perekomonian China diprediksi tumbuh lebih lambat di 2024 melemahnya permintaan domestik pasca pencabutan kebijakan zero covid-19 di akhir 2022.

Perlambatan itu ditambah dengan krisis seltor properti yang berkontribusi terhadap 25-30 persen dari PDB negara ekonomi terbesar kedua di dunia, ketika utang pengusaha yang terus menumpuk akibat adanya pembatasan kredit dari pemerintah.

Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal mengungkapkan bahwa perlambatan di pasar China memiliki dampak yang lebih besar dibanding kawasan lain seperti AS dan Uni Eropa.

“Kalau kita bicara dampak (perlambatan ekonomi) China terhadap ekspor itu (ke Indonesia) itu lebih besar, karena hampir ke semua (sektor),” kata Faisal dalam Outlook Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2024 yang disiarkan pada Kamis (23/11/2023).

Dampak dari Perlambatan di AS

Sementara itu, di Amerika, juga dilanda perlambatan meski sudah mulai pulih dari pandemi. Hal itu didorong oleh lonjakan inflasi imbas perang Rusia-Ukraina.

Badan-badan internasional memperkirakan ekonomi AS tumbuh hanya 1,5 persen di 2024 dibandingkan 2,1 persen tahun ini.

Proyeksi itu berdasarkan konsumsi masyarakat Amerika yang diperkirakan melambat. Selain itu, The Fed juga tampaknya masih bersikeras mencapai target peredaman inflasi hingga 2 persen.

“Di 2022 ada gelombang PHK industri tekstil (di Amerika). Ini tidak lepas dari kondisi di mana Amerika mengalami kontraksi dari sisi pembelian berbagai macam barang, termasuk barang impor tekstil Indonesia turun,” beber Faisal.

“Masalahnya, industri tekstil Indonesia ini 50 persen pasar ekspornya adalah Amerika. Sehingga kontraksi pada Amerika Saja itu bisa berdampak terhadap PHK. Bahkan masih terjadi awal tahun ini dan tingkat yang lebih kecil (beberapa waktu terakhir),” ungkapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Belanja Politik Bakal Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Pencopotan Baliho Anies-AHY oleh DPC Partai Demokrat Situbondo (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)
Pencopotan Baliho Anies-AHY oleh DPC Partai Demokrat Situbondo (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)

Tahun politik sudah dimulai dengan pendaftaran bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil prsiden (bacawapres) di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seiring berjalannya proses politik hingga pencoblosan tahun depan ini diperkirakan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. 

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia, Erwindo Kolopaking mengatakan bahwa permintaan sektor distribusi komunikasi mengalami peningkatan, misalnya iklan, poster, sablon. 

“Menjelang pemilu akan ada permintaan buat iklan, poster dan sektor-sektor terkait akan meningkat, misalnya sektor percetakan dan juga sablon akan mengalami kenaikan,” kata Erwindo di Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (11/11/2023). 

Bahkan dampaknya sudah mulai terlihat sejak 3 bulan atau 1 kuartal sebelum pelaksanaan pesta demokrasi 5 tahunan. Sebagaimana diketahui hari pencoblosan pemilu dan pilpres jatuh pada 14 Februari 2024. Sehingga dampaknya mulai akan terasa sejak triwulan terakhir 2023. 

“Sektor ini 1 triwulan sebelum pemilu akan meningkat,” kata Erwindo.

 


Belanja Pemerintah

Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Selain belanja pemilu, pertumbuhan ekonomi di 3 bulan terakhir ini akan banyak disumbang oleh belanja pemerintah. Dia memperkirakan di sisa 2023, pemerintah akan menggelontorkan anggarannya sekitar Rp 250 triliun sampai Rp 350 triliun. 

“Kalau akhir tahun ini minimal Rp 250 triliun sampai Rp 350 triliun di akhir tahun, ini nanti akan mengalir ke bank dan instrumen yang dimiliki pemerintah dan ini bisa menaikkan Dana Pihak Ketiga (DPK),” kata dia. 

Harus diakui, belanja pemerintah memang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada triwulan ke-2 tahun ini pertumbuhan bisa mencapai 5,17 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi triwulan ke-3 melambat dengan posisi 4,94 persen.

Tingginya pertumbuhan tersebut tidak lepas dari pemberian THR dan gaji ke-13 yang ditarik ke triwulan II dari sebelumnya di triwulan III pada tahun sebelumnya. 

“Kita akui, faktor pendorong ekonom ini konsumsi pemerintah, di triwulan kedua kemarin ada kenaikan PDB karena gaji pekerja pemerintah diberikan lebih awal. Jadi efeknya ini ke sana,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya