Biaya Energi Mahal, Inflasi Zona Euro Naik 2,9 Persen di Akhir 2023

Tingginya biaya energi menjadi pendorong utama kenaikan inflasi di Eropa. Simak selengkapnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Jan 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2024, 12:30 WIB
Inflasi
Ilustrasi Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Tingkat inflasi tahunan di Eropa atau dikenal sebagai zona euro, naik menjadi 2,9 persen pada Desember 2023.

Tingginya biaya energi menjadi salah satu pendorong utama inflasi di Eropa, data resmi badan statistik Uni Eropa menunjukkan.

Mengutip Channel News Asia, Senin (8/1/2024), ini merupakan kenaikan pertama tingkat inflasi tahunan Eropa sejak kenaikan tak terduga pada April 2023 lalu.

Data inflasi terbaru mendukung komentar Kepala Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde, yang telah memperingatkan bahwa Eropa harus tetap waspada meskipun inflasi sempat menurun.

ECB telah melakukan serangkaian kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi setelah harga konsumen mencapai puncaknya sebesar 10,6 persen pada Oktober 2022.

Namun ketika inflasi zona euro semakin dekat dengan target ECB sebesar 2 persen, semakin banyak seruan untuk menurunkan suku bunga, namun para pejabat bank menolaknya dengan keras.

"Lonjakan inflasi umum di zona euro pada bulan Desember telah diantisipasi secara luas dan seluruhnya disebabkan oleh peningkatan inflasi energi yang didorong oleh efek dasar, sehingga hal ini tidak akan mengubah pandangan para pengambil kebijakan ECB mengenai prospek kebijakan moneter,” kata Jack Allen-Reynolds, wakil kepala ekonom zona euro di Capital Economics.

Peningkatan ini diperkirakan terjadi karena pemerintah telah memberikan dukungan pada Desember 2022 kepada rumah tangga, untuk menghadapi tagihan pemanas ruangan yang melonjak akibat perang Rusia Ukraina.

Harga energi di zona euro turun pada Desember 2023 sebesar 6,7 persen secara tahunan, namun angka tersebut lebih kecil dari penurunan sebesar 11,5 persen pada November 2023, berdasarkan data yang diterbitkan oleh badan statistik resmi UE.

Sementara itu, harga makanan dan minuman melambat menjadi 6,1 persen pada Desember 2023 dibandingkan dengan 6,9 persen pada bulan November, menurut Eurostat.

Kemudian inflasi inti, yang tidak mencakup harga energi, makanan, alkohol dan tembakau, melambat menjadi 3,4 persen pada bulan Desember dari 3,6 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Inflasi Terendah dan Tertinggi di Eropa

Mengenal Konsep Inflasi dalam Ekonomi
Ilustrasi Konsep Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Di antara 20 negara yang menggunakan euro, Belgia dan Italia memiliki tingkat inflasi terendah, mencapai 0,5 persen pada Desember 2023, menurut data Eurostat.

Di sisi lain, inflasi meningkat di dua negara dengan perekonomian terbesar di Uni Eropa.

Di Jerman, inflasi meningkat menjadi 3,8 persen pada bulan Desember dari 2,3 persen pada bulan sebelumnya.

Kemudian di Perancis, harga konsumen meningkat hingga 4,1 persen pada bulan Desember dari 3,9 persen pada bulan November.


Belum Mereda, Inflasi Turki Masih Tembus 64,8% di Akhir 2023

Ilustrasi Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Sumber: Pixabay)

etika inflasi mereda di sebagian besar negara-negara di dunia, kenaikan harga masih menghantui masyarakat di Turki.

Dilansir dari CNBC International, Kamis (4/1/2024), inflasi di Turki naik menjadi 64,8 persen secara tahunan di bulan Desember 2023, meningkat dari 62 persen di bulan sebelumnya.

Sedangkan inflasi Turki secara bulanan turun menjadi 2,9 persen dari 3,3 persen. Inflasi Turki mencapai puncaknya sebesar 85,5 persen pada Oktober 2022.

Selain kenaikan inflasi, Lira Turki juga mengalami penurunan tajam, meningkatkan biaya impor dan mengikis gaji banyak pekerja asing yang mengirim uang ke luar negeri.

Hal ini terjadi ketika bank sentral Turki terjebak pada kebijakan moneter kontroversial berupa penurunan suku bunga, yang dipelopori oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Namun, bank sentral melakukan perubahan tajam pada Juni 2023 ketika mulai menaikkan suku bunga lebih tinggi di bawah gubernur barunya, Hafize Gaye Erkan. Sejak itu, suku bunya tersebut telah dinaikkan dari 8,5 persen menjadi 42,5 persen.

Rapat bank sentral terakhir pada bulan Desember menghasilkan kenaikan sebesar 250 basis poin, lebih kecil dari kenaikan 500 basis poin baru-baru ini.

Nicholas Farr, ekonom Eropa baru di Capital Economics, mengatakan dalam sebuah catatan penelitian pada saat itu bahwa bank sentral belum menutup pintu terhadap siklus pengetatan.

Dia juga memperkirakan satu lagi kenaikan sebesar 250 basis poin pada pertemuan berikutnya pada 25 Januari.

Inflasi Turki telah kembali meningkat sejak Juni 2023, namun pengamat pasar mengatakan siklus ini baru akan mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 2024.


Obligasi Turki jadi Sorotan

Penyebab Munculnya Inflas Pada Pertumbuhan Ekonomi Negara
Ilustrasi Penyebab Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Dalam survei sentimen pasar negara berkembang HSBC terbaru, obligasi Turki disorot sebagai investasi pilihan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, menurut kepala penelitian pasar negara berkembang global bank tersebut, Murat Ulgen.

Hal ini mencerminkan meningkatnya kredibilitas bank sentral, kata Ulgen.

"Tentu saja, inflasi masih tinggi, namun kehilangan momentum bulanan secara berurutan, dan kemungkinan inflasi akan segera mencapai puncaknya dalam beberapa bulan, atau kuartal ke depan akan mulai turun," katanya, seraya menambahkan bahwa bank sentral kemungkinan besar akan memberikan suku bunga riil yang cukup besar.

Investor melihat inflasi Turki saat ini dan melihat peluang dalam perdagangan mata uang, terutama dengan stabilnya lira, tambahnya.

Target Inflasi Dapat Tercapai?

Namun tingkat kenaikan suku bunga saat ini tidak mungkin membuat bank sentral mencapai target inflasi akhir tahun 2024 sebesar 36 persen, menurut Selva Demiralp, profesor ekonomi di Koc University.

Demiralp dan rekan-rekannya memperkirakan angka inflasi Turki bisa mendekati 50 persen, dengan puncaknya sekitar 75 persen pada pertengahan tahun karena efek kumulatif kenaikan suku bunga dan efek dasar.

"Titik awalnya adalah perekonomian yang terlalu panas, dan pengetatan yang diakibatkannya mungkin tidak cukup" untuk mencapai target 36 persen, katanya kepada Capital Connection CNBC.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya