Iperindo: Kebutuhan SDM Industri Perkapalan Jauh Panggang dari Api

Institusi Perkapalan dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) saat ini sangat membutuhkan kaderisasi sumber daya manusia (SDM) pada industri maritim dan industri perkapalan nasional

oleh Septian Deny diperbarui 31 Mar 2024, 19:48 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2024, 19:45 WIB
Kemenperin bekerjasama dengan JICA dan IPERINDO mengelar pelatihan prosedur pembuatan kapal dan manajemen produksi projek moderasasi perkapalan nasional.
Kemenperin bekerjasama dengan JICA dan IPERINDO mengelar pelatihan prosedur pembuatan kapal dan manajemen produksi projek moderasasi perkapalan nasional.

Liputan6.com, Jakarta Institusi Perkapalan dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) membahas berbagai persoalan dan kendala terkini yang tengah dihadapi oleh para anggota Iperindo, industri maritim, industri perkapalan, industri galangan, tarif dan lain sebagainya.

Ketua Umum Iperindo, Anita Puji Utami mengatakan Iperindo saat ini sangat membutuhkan kaderisasi sumber daya manusia (SDM) pada industri maritim dan industri perkapalan nasional. Mengingat kebutuhan SDM untuk reparasi kapal setiap tahunnya selalu meningkat. Apalagi ditambah dengan adanya order dari pesanan untuk bangunan baru, seperti yang terjadi kini di Batam, ada tambahan bangunan baru berupa pembelian 50 set kapal tunda (tug boat) dan tongkang (barge).

“Kemarin saja, dengan adanya tambahan pekerjaan berupa perawatan kapal dari industri pelayaran yang sudah melakukan kegiatan secara maksimal, kebutuhan SDM pada industri perkapalan saja masih sangat kurang sekali. Belum lagi kalau ada tambahan bangunan baru lagi. Kita mengharapkan kaderisasi SDM pada industri perkapalan ini terutama ditekankan untuk pelatihan dan mampu mengantongi sertifikasi,” ungkap orang pertama yang memimpin galangan kapal PT Adiluhung Sarana Segara Indonesia (ASSI).

Jadi, tambahnya, SDM kita saat ini bukannya minim, namun perlu ada tambahan lagi. Karena sejak Program Tol Laut yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 2015 lalu, banyak sekali SDM yang terserap di industri perkapalan dan galangan. Tapi kini – karena industri ini hanya “hidup” dari kegiatan reparasi dan perawatan kapal – banyak SDM-nya yang telah beralih profesi di antaranya menjadi pengemudi ojek online. Padahal, sebagai pengemudi ojek online, mereka sudah di latih dan di training sampai memperoleh sertifikasi.

“Nah, biaya untuk mendidik dan melatih pengemudi ojek online tersebut – sampai pintar dan mengantongi sertifikasi – bisa menghabiskan anggaran sebesar Rp25 juta per orang. Bayangkan coba,” urainya.

Anita menyampaikan, saat ini industri galangan kapal masih belum ada lagi pesanan yang signifikan, kalau pun ada itu pun hanya satu sampai dua unit saja untuk bangunan baru. Sehingga bisa dikatakan industri ini sedang defisit order sejak berjaya pada waktu Program Tol Laut.

 

 

 

SDM Industri Perkapalan

Geliat Industri Galangan Kapal di Aceh
Pekerja memuat material untuk membuat kapal nelayan di Banda Aceh, Aceh pada 21 November 2020. Industri galangan kapal tradisional di daerah itu mengalami kesulitan memperoleh bahan baku kayu untuk memproduksi kapal nelayan, sehingga berdampak pada proses penyelesaian kapal. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Terkait SDM industri perkapalan yang mampu dipasok oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kemenperin sejauh ini, Anita menyebutkan, jumlahnya tak lebih dari hanya 1.000 orang per tahun. Padahal, jumlah kapal saat ini yang naik dock per tahun mencapai 30 ribu unit.

Iperindo juga mengakui, pihaknya saat ini juga masih mengalami berbagai kendala yang belum terpecahkan, di antaranya soal perizinan yang masih tumpang tindih, suku bunga kredit yang masih dua digit, terminal khusus (Tersus), Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) sampai pungutan yang dilakukan oleh KKP dan Kemenhub.

“Nilainya bisa mencapai Rp18 juta per hektare. Tergantung dari luas galangan yang dipakai. Maunya kami pungutan ini dilakukan oleh Kemenhub atau KKP. Salah satu saja dan idealnya pun hanya Rp1 juta. Jika tidak ini sangat membebani kami,” pinta Anita.

Punya Potensi Puluhan Triliun, Ekonomi Biru Sudah Jalan di Indonesia?

KKP Dorong Ekspor Hasil Tangkap Ikan Nelayan Tradisional
Nelayan menurunkan ikan hasil tangkapan laut di Muara Baru, Jakarta, Kamis (29/3). Untuk mendorong ekspor komoditas perikanan KKP akan memberikan bantuan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Indonesia digadang memiliki potensi ekonomi berbasis maritim hingga puluhan ribu triliun. Perputaran uang dengan konsep ekonomi biru ini disebut-sebut sudah mulai jadi tumpuan di berbagai daerah di Indonesia.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat potensi ekonomi maritim Indonesia mencapai USD 1.338 miliar per tahun atau lebih dari Rp 20.000 triliun, tersebar luas di beberapa sektor utama.

Sektor perikanan memiliki potensi nilai ekonomi USD 787 miliar per tahun, sementara sektor pariwisata mencapai USD 283 miliar per tahun.

Sektor pertambangan menunjukkan potensi sebesar USD 225 miliar per tahun, sektor energi mencapai USD 86 miliar per tahun serta sektor transportasi mencapai USD 20 miliar per tahun.

"Potensi penerapan ekonomi berbasis maritim yang dimiliki Indonesia sangatlah besar. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta km persegi atau 2/3 dari total luas wilayah Indonesia," ujar Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL-SC), Marcellus Hakeng Jayawibawa kepada Liputan6.com, Jumat (8/12/2023).

Marcellus mengatakan, dari potensi ekonomi maritim tersebut, Indonesia dapat menciptakan lebih dari 45 juta lapangan kerja baru.

Kemudian, industri yang dapat dikembangkan dari sektor ekonomi maritim termasuk pengolahan ikan seperti industri pengalengan, tepung ikan, dan perhiasan dari mutiara.

Lalu, perkapalan seperti galangan kapal, pembuatan suku cadang kapal, dan jasa pelayaran; pariwisata laut seperti hotel, restoran, dan jasa wisata bahari.

Selanjutnya, pertambangan laut seperti minyak, gas bumi, batu bara, dan mineral; energi laut seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan ombak; serta transportasi laut seperti pelayaran, pergudangan, dan logistik.

"Indonesia perlu melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan potensi ekonomi maritim, seperti peningkatan investasi di sektor kelautan, kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur kelautan, dan koordinasi antar-pemangku kepentingan," tegas dia.

 

Contoh Penerapan Ekonomi Biru

Semester I 2018, Ekspor Perikanan Alami Peningkatan
Nelayan memindahkan ikan laut hasil tangkapan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Kamis (26/10). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan hasil ekspor perikanan Indonesia menunjukkan peningkatan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut data yang dikantonginya, praktik berkonsep ekonomi biru sudah berjalan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Di Kota Bitung, industri pengolahan ikan berkembang pesat dan menjadi salah satu tujuan investasi.

"Hal ini menunjukkan bahwa konsep ekonomi biru dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian nasional," ungkapnya.

Kemudian, beberapa contoh lainnya seperti, industri pengolahan ikan di Kota Bitung, Sulawesi Utara; pariwisata bahari di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur; pemanfaatan energi laut di Kepulauan Riau; serta pengembangan perikanan budidaya di Nusa Tenggara Barat.

Marcellus melihat, dalam pengembangan ekonomi biru di Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dioptimalkan. Diantaranya peningkatan investasi di sektor kelautan untuk infrastruktur, sarana prasarana, dan teknologi yang mendukung, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia agar industri dan bisnis kelautan dapat berjalan optimal.

Selain itu, koordinasi yang efektif antar-pemangku kepentingan juga penting untuk memastikan pengembangan ekonomi biru berjalan dengan efisiensi.

"Dalam pengembangan ekonomi biru, perlu adanya upaya mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapi, seperti keterbatasan data dan informasi yang akurat yang diperlukan untuk kebijakan dan perencanaan yang tepat," ujar dia.

"Kurangnya infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi kelautan, serta kekurangan sumber daya manusia yang kompeten dalam menjalankan industri dan bisnis kelautan," pungkas Marcellus Hakeng.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya