Cerita Bank Asal Inggris Standard Chartered Hadapi Tuntutan Terkait Pendanaan Terorisme

Standard Chartered dalam pernyataannya membantah tuduhan para pelapor.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 05 Jun 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2024, 07:00 WIB
Cerita Bank Asal Inggris Standard Chartered Hadapi Tuntutan Terkait Pendanaan Terorisme
Salah satu bank terbesar di Inggris, Standard Chartered, berhasil melewati tuntutan dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat terkait tuduhan pendanaan terorisme. (Foto: Standard Chartered)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu bank terbesar di Inggris, Standard Chartered, berhasil melewati tuntutan dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) terkait tuduhan pendanaan terorisme.

Mengutip BBC, Rabu (5/6/2024) sebuah dokumen yang diajukan ke pengadilan New York mengklaim ribuan transaksi senilai lebih dari USD 100 miliar atau setara Rp 1,6 kuadriliun dilakukan bank tersebut dari 2008-2013, yang melanggar sanksi dengan Iran.

Seorang ahli independen mengidentifikasi transaksi valuta asing senilai USD 9,6 miliar atau sekitar Rp 156,31 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.290) dengan individu dan perusahaan yang disebut AS sebagai pendanaan kelompok terorisme, termasuk Hizbullah, Hamas, al-Qaeda, dan Taliban.

Sementara itu, Standard Chartered dalam pernyataannya membantah klaim para pelapor, dan mengatakan tuduhan mereka telah didiskreditkan sepenuhnya oleh otoritas AS.

Kronologi

Dalam tuduhan terhadapnya, Standard Chartered dituduh memalsukan data transaksi di Swift, yang merupakan sistem pembayaran internasional yang digunakan oleh ribuan lembaga keuangan untuk mengalirkan miliaran dolar melalui cabangnya di New York atas nama entitas yang terkena sanksi seperti Bank Sentral Iran.

Namun, pada September 2012, George Osborne, yang saat itu menjabat sebagai kanselir di pemerintahan Lord Cameron, diam-diam melakukan intervensi atas nama bank tersebut.Tiga bulan kemudian, Departemen Kehakiman AS memutuskan untuk tidak menuntut bank asal Inggris itu.

Transaksi valuta asing yang diidentifikasi dalam pengajuan pengadilan belum terungkap, dan tidak ada indikasi bahwa Osborne atau Lord Cameron mengetahui transaksi tersebut pada saat itu.

Pada 2012, Standard Chartered mengakui pelanggaran sanksi terhadap Iran dan negara-negara lain, kemudian pada 2019 dengan membayar denda sebesar lebih dari USD 1,7 miliar (. Namun mereka tidak mengaku melakukan transaksi untuk kelompok terorisme.

Transaksi tersebut disimpan dalam spreadsheet bank rahasia yang pertama kali diserahkan kepada otoritas AS pada tahun 2012 oleh dua pelapor, termasuk mantan eksekutif Standard Chartered, Julian Knight.

Mereka menuduh lembaga-lembaga pemerintah AS membuat pernyataan palsu di pengadilan, agar klaim mereka atas imbalan yang diberikan kepada pelapor ditolak.

 

Tuntutan Dibatalkan

Standard Chartered
Standard Chartered (Wikipedia)

Pihak berwenang AS yang terlibat dalam penyelidikan bank tersebut kemudian mengajukan permohonan agar kasus mereka dibatalkan pada 2019.

Seorang agen FBI mengklaim di pengadilan kasus tersebut tidak mengindikasikan atau menyarankan bahwa Standard Chartered telah terlibat dalam transaksi dolar AS yang tidak patut setelah tahun 2007.

Pihak berwenang AS juga mengatakan, tuduhan pelapor tidak mengarah pada temuan pelanggaran baru dan pengadilan menganggap kasus tersebut "tidak pantas".

FBI dan Departemen Kehakiman AS menolak berkomentar.

Baik Lord Cameron maupun Osborne juga tidak mengomentari catatan tersebut.Standard Chartered Bank juga mengatakan pihaknya yakin pengadilan akan menolak klaim tersebut.

Dikatakan bahwa pihak berwenang AS sebelumnya telah menyimpulkan bahwa klaim para pelapor tidak berdasar dan tidak menunjukkan adanya pelanggaran terhadap sanksi AS.

 

Standard Chartered Terbitkan Panduan Aturan Layanan Uang Elektronik di 8 Negara, Termasuk Indonesia

Para Traveller! Ini Kejutan Baru untuk Anda!
Standard Chartered Bank Indonesia luncurkan kartu kredit untuk para traveller.

Sebelumnya, Standard Chartered, bekerja sama dengan firma hukum global, Allen & Overy menerbitkan edisi kedua dari laporan Guide to Payment Regulations, yang memberikan gambaran tentang kerangka peraturan dan skema perizinan terkait sistem pembayaran dan layanan uang elektronik di delapan negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, termasuk Indonesia.

Adapun panduan ini bertujuan untuk mendukung korporasi serta fintech dalam menavigasi lanskap sistem pembayaran yang berkembang pesat dan memungkinkan mereka mempertimbangkan berbagai faktor yang berdampak ketika mereka hendak memperluas jaringan bisnis mereka ke negara lain.

“Dunia pembayaran digital yang berkembang pesat saat ini yang merupakan akibat dari meningkatnya digitalisasi model bisnis dan perubahan preferensi konsumen telah menyebabkan sejumlah pembaruan peraturan oleh regulator, dalam rangka mengimbangi pertumbuhan tersebut dan memastikan ketahanan dan keamanan yang berkelanjutan di ekosistem keuangan secara keseluruhan,” jelas Head of Transaction Banking, Standard Chartered Indonesia Jenny Tantono, dikutip Kamis (21/3/2024).

 

Edisi Kedua

Edisi kedua ini merupakan lanjutan dari edisi pertama 1 yang fokus pada delapan negara Asia dan kini telah diunduh lebih dari 1.000 kali sejak diluncurkan pada bulan September 2023 lalu.

Selain memberikan ringkasan tentang peraturan pembayaran dan layanan uang elektronik yang spesifik untuk pasar tertentu, panduan ini juga memanfaatkan keahlian Standard Chartered dan Allen & Overy dalam menangani isu-isu yang paling sering dihadapi korporasi dan fintech ketika mereka mengembangkan bisnisnya baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu pertanyaan utama yang dibahas dalam laporan ini adalah apakah persyaratan lisensi berlaku untuk platform eCommerce B2B. 1 Edisi pertama laporan Guide to Payment Regulations mencakup China, Hong Kong, India, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Taiwan dan Singapura.

Pembayaran adalah salah satu aspek yang paling mengalami perubahan dalam industri jasa keuangan karena inovasi teknologi yang terus berkembang dan pertumbuhan pesat perusahaan fintech beserta solusi alternatif yang mereka tawarkan.

 

Perubahan Peraturan

Hal ini tercermin dari seringnya terjadi peninjauan dan perubahan peraturan pembayaran untuk memastikan bahwa ekosistem keuangan tetap aman dan terlindungi.

Oleh karena itu, untuk bisa selalu mengikuti perkembangan peraturan pembayaran menjadi sebuah tantangan bagi korporasi dan fintech yang ingin menyediakan atau memfasilitasi layanan pembayaran khususnya di wilayah Asia, Afrika, dan Timur Tengah.

“Standard Chartered sangat mendukung Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang digagaskan Bank Indonesia, yang bertujuan untuk membentuk ekosistem perekonomian dan keuangan digital pada tahun 2025. Hal ini tercermin dalam peningkatan dan investasi berkelanjutan kami pada solusi Cash Management yang kami tawarkan, serta inisiatif-inisiatif yang mengedepankan pengembangan industri seperti peluncuran laporan Guide to Payment Regulations ini,” tambahnya.

Edisi kedua dari laporan Guide to Payment Regulations ini mencakup Bangladesh, Nigeria, Filipina, Arab Saudi, Afrika Selatan, Uni Emirat Arab, Indonesia, dan Vietnam.

“Berkat upaya kolektif antara Standard Chartered, tim A&O, dan firma hukum lokal yang terpercaya, kami telah berupaya memperluas cakupan yurisdiksi panduan sistem pembayaran ini dengan memanfaatkan respon baik yang telah kami terima dalam satu tahun terakhir. Kami berharap laporan ini dapat terus memberikan panduan yang komprehensif dan praktis untuk membantu klien Standard Chartered agar dapat lebih memahami peluang dan tantangan dalam memperluas penawaran layanan pembayarannya di seluruh wilayah," Lead Partner Allen & Overy, Shuhui Kwok.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya