10 Provinsi dengan Jumlah Lowongan Kerja Terbanyak

Jumlah lowongan kerja di Indonesia pada 2023 terus bertambah. Hal ini lantaran pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tumbuh.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 30 Jun 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2024, 10:00 WIB
Jakarta Job Fair 2023
Lalu lalang para pencari kerja di Jakarta Job Fair 2023. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Angka pengangguran di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan. Bahkan, pemerintah mengklaim angka pengangguran sudah lebih rendah dari masa sebelum pandemi Covid-19. Salah satu penyebabnya mulai banyaknya perusahaan membuka lowongan kerja.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia telah turun menjadi 7,20 juta per Februari 2024.

Sebelumnya, pada Februari 2020 atau periode sebelum pandemi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia mencapai 4,94 persen, dan felah turun ke 4,82 persen di periode yang sama tahun ini.

Turunnya angka pengangguran ini tidak terlepas dari kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang konsisten. Ekonomi yang terus tumbuh membuat banyak terbuka lapangan kerja.

Fakta menarik, data BPS juga mengatakan, selama 2023 Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan jumlah lowongan kerja terbanyak. Tercatat, ada 51.163 lowongan kerja selama tahun kemarin.

Daftar Provinsi

Berikut data provinsi dengan jumlah lowongan kerja terbanyak selama 2023:

  1. Jawa Timur : 51.163 lowongan kerja
  2. Jawa Barat: 35.546 lowongan kerja
  3. Jawa Tengah: 35.191 lowongan kerja
  4. Sumatera Barat: 20516 lowongan kerja
  5. DKI Jakarta: 12.802 lowongan kerja
  6. Banten: 7.697 lowongan kerja
  7. Sumatera Utara: 5.896 lowongan kerja
  8. Sulawesi Selatan: 5.629 lowongan kerja
  9. Sumatera Selatan: 4.629 lowongan kerja
  10. Jambi: 4.554 lowongan kerja

 

Ada 10 Juta Gen Z Pengangguran

Ribuan Pencari Kerja Padati Job Fair Nasional 2023 Kemnaker di JIEXPO Kemayoran
Festival Pelatihan Vokasi dan Job Fair Nasional 2023 di JIExpo Kemayoran Jakarta.

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, menanggapi data BPS 2023 yang mencatat hampir 10 juta Gen Z tak punya kegiatan alias menganggur. BPS memasukan mereka ke dalam kategori "youth not in education, employment, and training" (NEET)

"Artinya, angka NEET pada Gen Z ini memang cukup tinggi, sekitar 13 persenan dari total Gen Z Indonesia," kata Ronny kepada Liputan6.com, Rabu (22/5/2024).

Menurutnya, tingginya angka NEET pada Gen Z tersebut dipengaruhi oleh tujuh faktor utama. Pertama, karena rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga daya serap ekonomi atas tenaga kerja baru yang tumbuh, utamanya tentu Gen Z juga cukup rendah.

Sebagaimana diketahui, setiap tahun angkatan kerja baru bertambah, yang tentunya datang dari Gen Z, sebagai generasi angkatan kerja termuda.

Alhasil jika perekonomian nasional menyerab tenaga kerja jauh di bawah tingkat pertumbuhan angkatan kerja baru, maka otomatis peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran semakin tinggi.

Kedua, selain pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi, tingkat Incremental Labour Output Ratio (ILOR) kita juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun, terutama karena investasi baru banyak terjadi di sektor non tradeble dan karena disrupsi teknologi.

Karakter Gen Z

Ketiga, karakter Gen Z sudah tidak sama lagi dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja juga berbeda. Maka sebagian lapangan pekerjaan konvensional yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan karakter gen Z.

"Sementara itu, investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif, bahkan belakangan banyak yang gulung tikar. Sehingga menambah potensi pengangguran pada segmen generasi Z," ujarnya.

 

Komitmen Investor

Antusias Pencari Kerja Serbu Jakarta Job Fair 2023
Acara itu untuk mengurangi jumlah pengangguran terbuka di Jakarta yang mencapai 410.585 jiwa sesuai data BPS akhir 2022. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Keempat, pemerintah belum terlalu optimal mendorong akselerasi investasi di sektor-sektor yang sesuai dengan karakter gen z ini, seperti sektor ekonomi digital, ekonomi kreatif, tourism, dan sejenisnya.

"Pemerintah masih fokus mendorong sektor konvensional yang dianggap strategis dalam memberikan kontribusi kepada pertumbuhan," katanya.

Kelima, di sisi lain, biaya pendidikan semakin hari semakin mahal, yang membuat Gen Z juga akhirnya tidak terlalu tertarik untuk menjajaki jenjang pendidikan ke level selanjutnya.

Keenam, biaya untuk memulai usaha baru atau menjadi enterpreneur juga tidak murah, apalagi Gen Z cenderung sangat konsumtif, sehingga rerata kurang mampu mengumpulkan tabungan untuk dijadikan modal usaha baru.

"Ketujuh, besarnya jumlah NEET di kalangan Gen Z membuktikan bahwa program kartu prakerja gagal," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya