6 Marketplace Favorit Orang Indonesia untuk Belanja Online, Apa saja?

Berdasarkan data Internastional Trade Administration 2024, terdapat enam marketplace terkemuka di Indonesia yang berkontribusi besar terhadap Gross Merchandise Value (GMV), diantaranya Shopee, Tokopedia, Lazada, Bukalapak, Tiktok Shop dan Blibli.

oleh Tira Santia diperbarui 14 Agu 2024, 14:10 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2024, 14:10 WIB
Ilustrasi e-Commerce.
Ilustrasi e-Commerce.

Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data Internastional Trade Administration 2024, terdapat enam marketplace terkemuka di Indonesia yang berkontribusi besar terhadap Gross Merchandise Value (GMV), diantaranya Shopee, Tokopedia, Lazada, Bukalapak, Tiktok Shop dan Blibli.

"Pada tahun 2022, sudah memiliki enam marketplace terbesar yang berkontribusi pada Gross Merchandise Value. Shopee memimpin dengan GMV tertinggi," kata Direktur Perdagangan, Investasi dan Kerjasama Ekonomi Internasional BAPPENAS Laksmi Kusumawati, dalam Gambir Trade Talk 'Transformasi Ritel Modern di Era Digitalisasi: Peluang dan tantangan,' Rabu (14/8/2024).

Sebagai informasi, GMV adalah nilai pengukuran dari total penjualan barang dalam jangka waktu tertentu yang umumnya digunakan pada marketplace, ecommerce, atau online shop.

GMV mencakup semua transaksi penjualan, tanpa mempertimbangkan potongan harga, biaya pengembalian, atau biaya operasional lainnya. Sehingga, hanya murni mencerminkan besaran nilai barang yang berhasil terjual saja.

Kontribusi

Untuk rinciannya, marketplace yang kontribusinya tertinggi terhadap GMV adalah yang pertama Shopee. Toko oren ini memimpin GMV mencapai 36 persen atau sekitar USD18,7 miliar.

Urutan kedua, Tokopedia GMV-nya mencapai 35 persen, Lazada GMV nya 10 persen, Bukalapak juga 10 persen, Tiktokshop yang mencatatkan GMV sebesar 5 persen atau sekitar USD2,6 miliar. Terakhir, Blibli GMV-nya hanya 4 persen.

Lebih lanjut, kata Laksmi, setelah mengalami pertumbuhan besar di sektor e-commerce selama pandemi COVID-19, social commerce kini menjadi fenomena komersial baru yang diperkirakan akan mendominasi pasar Indonesia.

Meskipun saat ini social commerce masih relatif kecil, pertumbuhannya diproyeksikan akan cepat dalam beberapa tahun ke depan dan diperkirakan akan mencapai GMV sekitar USD 22 miliar pada tahun 2028.

"Platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk berbelanja di Indonesia meliputi TikTok, Instagram, Facebook, YouTube, WhatsApp, Line, dan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter)," pungkasnya.

Banjir Produk Impor China di Indonesia, Salah Siapa?

Neraca Perdagangan RI Alami Surplus
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Koperasi dan UKM mencatat banyak produk impor yang merusak pasar dalam negeri. Bahkan, hal ini dinilai jadi persoalan produk impor lama yang sudah jadi perhatian sejak lama.

Kemenkop UKM mencatat, banyak produk China masuk ke Indoneisa yang tidak tercatat secara menyeluruh. Plt Deputi Bidang UMKM Kemenkop UKM, Temmy Setya Permana mengungkap kakhawatirannya.

"Produk impor yang tidak tercatat itu membuat produk UMKM dalam negeri sulit bersaing. Produk tersebut masuk tanpa dikenakan bea masuk, sehingga bisa dijual dengan harga yang murah," tegas Temmy dalam keterangannya, Sabtu (10/8/2024).Mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada 2021 nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp 58,1 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp 28,4 triliun. Ada potensi nilai yang tidak tercatat sebesar Rp 29,7 triliun.

Kemudian pada 2022, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp 61,3 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp 31,8 triliun. Potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp 29,5 triliun.

 

Produk UMKM Tak Kalah Kualitas

Neraca Perdagangan RI
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kemenkop UKM Fiki Satari mengatakan produk UMKM secara kualitas produk UMKM saat ini tak kalah dengan produk buatan luar negeri. Namun sayangnya karena masifnya produk impor ilegal yang masuk ke pasar lokal, produk berkualitas yang diproduksi oleh UMKM menjadi kalah harga.

"Pelaku UMKM kelimpungan digempur dari darat, udara sampai di perbatasan-perbatasan," tegasnya.

Fiki mengungkap, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sudah mengingatkan bahaya ini sejak 2021. Produk asing ditransaksikan melalui e-commerce cross border bisa langsung masuk ke berbagai pelosok tanah air dengan harga yang murah.

"Importir harus dapat dipastikan patuh terhadap regulasi dengan membayar bea masuk barang impor. Adanya jaminan penegakan hukum serta aturan terkait impor, maka pelaku UMKM dalam negeri dipastikan dapat bersaing," ucap dia.

 

Keresahan Sejak Lama

Kemenperin Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Tekstil
Aktivitas jual beli bahan kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Kemenperin ingin meningkatkan daya saing industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional, salah satunya dengan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku tekstil impor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Informasi, produk impor tekstil ilegal sudah mencuat sejak lama, bahkan sempat jadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2015 lalu. Kala itu, Presiden sudah melihat maraknya impor ilegal sangat membahayakan industri dalam negeri.

Pada Oktober 2015 lalu, Jokowi mengungkap adanya penurunan produksi tekstil dalam negeri dari 30 hingga 60 persen. Presiden saat itu sudah mengingatkan produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) dalam berbagai kesempatan menyampaikan, data International Trade Centre (ITC) bahwa ekspor tekstil (HS 50-63) dari China ke Indonesia tahun lalu senilai USD 6,5 miliar.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor TPT dari China untuk HS yang sama dan periode yang sama hanya USUSD 3,55 miliar. Terdapat selisih hingga USD 2,94 miliar atau setara Rp 43 triliun yang tidak tercatat oleh pemerintah Indonesia melalui BPS.

Perbedaan data ini menunjukkan indikasi kuat adanya impor produk TPT yang tidak tercatat secara resmi di kepabeanan Indonesia. Dengan kata lain, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk impor tekstil ilegal bernilai puluhan triliun rupiah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya