Industri Tekstil Lebih Butuh Kepastian Bea Masuk Kain Impor daripada Insentif Fiskal

Para pelaku IKM tekstil sudah kehabisan napas akibat maraknya impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri pasar Tanah Air.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Agu 2024, 14:00 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2024, 14:00 WIB
Investasi Teksil Meningkat Saat Ekonomi Lesu
Aktivitas pekerja di PT Pan Brother,Tangerang, Banten, Selasa (13/10/2015). Industri tekstil di dalam negeri terus menggeliat. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan produksi dan aliran investasi di dalam dan luar negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita, menilai sektor industri kecil dan menengah (IKM) tekstil saat ini lebih membutuhkan kepastian penerapan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk kain impor ketimbang janji pemberian insentif fiskal untuk sektor industri terkait.

Pasalnya, Reni menyebut para pelaku IKM tekstil sudah kehabisan napas akibat maraknya impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri pasar Tanah Air.

"Kalau kita sih sebenarnya untuk perlindungan aja. Kalau memang di dalam negeri ada, pemerintah seharusnya tidak membuka keran impor yang banyak," ujar Reni saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan pungutan BMTP untuk kain impor. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Kain.

PMK tersebut mulai efektif berlaku tiga hari kerja setelah diundangkan pada 6 Agustus 2024, yaitu per 9 Agustus 2024.

Selain itu, Sri Mulyani sempat mengungkapkan potensi pemberian insentif fiskal untuk mendorong industrialisasi di sektor-sektor yang mengalami ketertinggalan, seperti tekstil, alas kaki, dan karet.

Tak Beri Kepastian Bisnis

Menurut Reni, pemberian insentif fiskal seakan tidak memberi kepastian bisnis bagi para pelaku usaha terkait.

Ia mengambil contoh keringanan berupa potongan pajak penghasilan (PPh) badan, yang baru bisa dimanfaatkan jika pelaku usaha mengantongi keuntungan.

"Itu dibayar ketika dia untung. Ketika dia rugi, mau ada insentif apa juga enggak ngaruh buat dia, kan. Untuk menjadi untung, dia harus menjual dengan kapasitas atau utilisasi yang seharusnya dia miliki, supaya dia bisa berjualan dan punya daya saing," ungkapnya.

"Kalau Anda punya kapasitas mesin 100, tapi jualannya cuma 50, ongkos produksinya untuk 100. Jualan 50 kan pasti dua kali lipat harga kita," tutur Reni.

 

 

Dorong Inovasi

Kemenperin Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Tekstil
Aktivitas jual beli bahan kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Kemenperin ingin meningkatkan daya saing industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional, salah satunya dengan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku tekstil impor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Di sisi lain, ia juga mendorong agar para pelaku usaha IKM tekstil terus berinovasi agar produk buatannya bisa diterima pasar.

Sehingga perlahan konsumen bisa beralih ke produk pakaian buatan Indonesia ketimbang membeli barang bekas dari China, misalnya.

"Satu-satunya jalan menurut saya ya memang kita lawan itu semua dengan menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan IKM bagus, loh," tegas Reni.

"Dengan tampil seperti itu, konsumen mulai melihat-lihat, 'Saya lebih baik beli baru daripada beli thrifting. Lebih baik saya beli dari toko yang benar daripada di marketplace,'" pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya