Utang 10 Tahun Pemerintah Jokowi Nyaris Rp 6.000 Triliun

Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat utang pemerintah mencapai hampir Rp 6.000 triliun selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Angka utang pemerintah disebut terus meningkat setiap tahunnya.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 27 Agu 2024, 20:50 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2024, 20:50 WIB
Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi utang Indonesia. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat utang pemerintah mencapai hampir Rp 6.000 triliun selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Angka utang pemerintah disebut terus meningkat setiap tahunnya. (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mencatat utang pemerintah mencapai hampir Rp 6.000 triliun selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Angka utang pemerintah disebut terus meningkat setiap tahunnya.

Head of Center of Macroeconomic and Finance Indef, Rizal Taufikurahman mengatakan angka utang pemerintah naik setiap tahun selama periode kepemimpinan Jokowi. Meski, diakuinya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) masih kecil, tapi secara nominal angkanya masih tinggi.

"Utang pemerintah Jokowi 1 dekade naik terus jumlahnya. Bayangkan, sepanjang periode 10 tahun utang Jokowi hampir Rp 6.000 triliun dan rasio utang terhadap PDB meski relatif semakin landai tapi angka nominal besar. Ini menunjukkan pembangunan kita sepuluh tahun terakhir cukup besar ditopang utang," kata Rizal dalam diskusi Indef bertajuk Evaluasi 10 Tahun Jokowi Bidang Ekonomi, Selasa (27/8/2024).

Dia menilai pembangunan infrastruktur selama periode tersebut banyak ditopang utang. Hanya saja, belum memberikan dampak yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Hal ini yang menurutnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan berikutnya. Utamanya mengelola utang menjadi lebih produktif untuk mengerek ekonomi nasional.

"Ini justru menjadi catatan penting agar pemerintah ke depan harus betul-betul mau atau bisa mengelola utang secara efektif dan produktif," ucapnya.

Angka Kemiskinan

Rizal mengatakan, besaran utang ini belum efektif dalam meningkatkan ekonomi Indonesia. Ini terlihat dari angka kemiskinan yang belum berubah signifikan.

Dalam 10 tahun terakhir, dia mencatat tingkat kemiskinan hanya berkurang sebanyak 3 juta orang, dari 28 juta di 2014 menjadi 25 juta orang di 2024.

"Dari utang yang besar, kebijakan sosial yang banyak, belanja yang sangat besar, ini kurang efektif kalau dari sisi capaian pertumbuhan ekonomi dan kualitas pertumbuhan ekonomi dr tingkat kemiskinan, belum tenaga kerja dan upah," bebernya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bansos-Investasi Belum Efektif

Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)
Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)

Diberitakan sebelumnya, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyoroti kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama 10 tahun. Sederet program bantuan sosial (bansos) hingga investasi yang masuk Indonesia belum efektif.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menilai kebijakan pemerintahan Jokowi belum efektif, misalnya mengenai kemiskinan dan lapangan kerja. Dia mencatat, dalam 10 tahun terakhir, tingkat kemiskinan hanya turun 2 persen.

"Kalau kita lihat lagi kita tahu bahwa tingkat kemiskinan itu hanya turun 2 persen dalam kurun 10 tahun," kata Esther dalam diskusi Indef bertajuk Evaluasi 10 Tahun Jokowi Bidang Ekonomi, Selasa (27/8/2024).

Soal kemiskinan ini dia menilai kebijakan bansos yang dikucurkan belum efektif menekan angka kemiskinan di Indonesia.

"Artinya kebijakan pengentasan kemiskinan itu belum efektif ya, seperti halnya pemberian bansos beratus-ratus miliar itu sebenarnya bukan solusi," tegasnya.

Esther lantas menyampaikan, alih-alih pemberian bansos, pemerintah seharusnya menaruh perhatian lebih dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Menurutnya, ini jadi upaya sukses yang dilakukan oleh negara maju.

"Harusnya tingkat pendidikan itu harus ditingkatkan karena secara teori maupun based practice yang namanya negara maju itu bisa maju karena dalam kurun waktu tertentu dia melakukan yang namanya human research development atau pembangunan sumber daya manusia yang lebih difokuskan disana," bebernya.

 


Kesenjangan Kemampuan

Bansos Beras
Penambahan periode bantuan diharapkan selain menjaga stabilitas ketahanan pangan dengan menjaga daya beli masyarakat juga membantu pengendalian inflasi sebagai dampak kenaikan harga beras saat ini. (merdeka.com/Arie Basuki)

Di sisi lain, Esther menyoroti soal adanya kesenjangan (gap) di sektor ketenagakerjaan. Alhasil, menurutnya investasi yang masuk ke Indonesia belum mampu menyerap tenaga kerja.

"Di sisi lain karena sekarang kondisi sekarang ketenagakerjaan itu mengalami skill gap, maka investasi tidak ramah terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, artinya investasi yang masuk itu kurang bisa menyerap naker karena adanya skill gap," kata dia.

Kemudian, Esther surut menyoroti adanya kontraksi fiskal dan moneter selama 10 tahun pemerintahan Jokowi. Pada sisi fiskal, dia melihat adanya kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang naik signifikan.

 

Infografis Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya