Menikah dengan Mahar Utang, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Tak sedikit calon mempelai yang memilih menetapkan mahar secara simbolis atau utang, demi bisa melangsungkan pernikahan. Meski niat tersebut mulia, penting untuk memahami bagaimana Islam mengatur praktik ini agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

oleh Putry Damayanty Diperbarui 11 Apr 2025, 20:30 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 20:30 WIB
perbedaan mahar dan mas kawin
perbedaan mahar dan mas kawin ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Mahar merupakan pemberian wajib dari mempelai pria kepada calon istrinya. Mahar sebagai bentuk penghormatan, penghargaan, dan tanda kesungguhan dalam menjalin kehidupan bersama.

Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4, Allah SWT secara tegas memerintahkan kepada para lelaki untuk memberikan mahar kepada istrinya.

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا 

Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Islam memberikan keleluasaan dalam bentuk dan jumlah mahar. Mahar bisa berupa uang, barang, atau sesuatu yang bermanfaat, selama disepakati kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan syariat.

Namun, kenyataannya, tidak semua calon pengantin pria mampu memberikan mahar secara tunai saat akad dilangsungkan. Lantas, bagaimakah hukumnya jika menikah dengan mahar utang?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Hukum Mahar Utang dalam Pernikahan

Menikah - Vania
Ilustrasi Cincin pernikahan/https://www.shutterstock.com/Kseniya Maruk... Selengkapnya

Melansir dari laman NU Online, mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan mahar berupa utang. Imam Abu Ishaq As-Syirazi menerangkan bahwa mahar atau mas kawin boleh berupa barang atau utang:

“Boleh mahar nikah berupa utang, barang, mahar yang kontan, dan mahar yang ditangguhkan (utang). Karena akad nikah adalah akad atas manfaat, sehingga diperbolehkan maharnya dengan bentuk-bentuk yang telah kami sebutkan (utang, barang, kontan, dan tempo) sebagaimana (upah) dalam akad sewa.” (Al-Muhaddzab, [Beirut: Darul Kutub Al-'Ilmiyah: tt], juz II, halaman 463).

Dari kalangan Hanbali, Ibnu Qudamah juga menandaskan hal yang sama, mahar boleh saja berupa utang:

“Segala sesuatu yang sah dijadikan harga dalam jual beli atau upah dalam sewa, baik berupa barang atau utang, yang tunai atau tertunda, sedikit atau banyak, termasuk manfaat orang merdeka, budak, dan selain keduanya, boleh dijadikan mahar.” (Al-Mughni, [Saudi: Dar 'Alamil Kutub: 1998], juz X, halaman 100).

Mahar yang berbentuk utang adakalanya kontan dan boleh juga bertempo atau penundaan. Tetapi dalam penundaan mahar, harus memenuhi syaratnya yaitu waktu pembayarannya jelas. Jika waktu penundaan tidak jelas, maka terjadi perbedaan pendapat.

Menurut mazhab Hanbali akadnya tetap sah dan kewajiban membayar mahar jatuh pada saat terjadi perpisahan (perceraian) atau kematian. Sebaliknya, menurut mazhab Syafi’i mahar dalam keadaan tersebut dianggap tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahr mitsl (mahar yang setara).

Syekh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan:

“Mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan penundaan pembayaran mahar, baik seluruhnya atau sebagian, hingga waktu tertentu yang jelas. Hal ini karena mahar dianggap sebagai kompensasi dalam sebuah transaksi timbal balik (mu’awadhah). Apabila mahar disebutkan tanpa disertai penundaan, maka ia harus segera dibayarkan. Namun, jika waktu penundaan tidak jelas, seperti dikaitkan dengan kedatangan seseorang (misalnya Zaid) atau turunnya hujan, maka penundaan tersebut tidak sah karena ketidakjelasan. Jika mahar ditunda tanpa ditentukan batas waktu tertentu, menurut mazhab Hanbali, akadnya tetap sah, dan kewajiban membayar mahar jatuh pada saat terjadi perpisahan (perceraian) atau kematian. Sebaliknya, menurut mazhab Syafi’i, mahar dalam keadaan seperti ini dianggap tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsl (mahar yang setara).” (Al-Fiqhul Islami w Adillatuh, [Damaskus: Darul Fikr: tt], juz IX, halaman 6787).

Ketentuan dan Syarat yang Harus Dipenuhi

arti mahar
arti mahar ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Sementara Mazhab Maliki memberikan rincian khusus terkait mahar dalam bentuk hutang. Jika mahar berupa sesuatu yang tertentu dan ada di daerah akad, seperti rumah atau pakaian, maka wajib diberikan pada saat itu juga. Penundaan dalam bentuk ini tidak diperbolehkan, kecuali dengan syarat waktu yang sangat singkat, misalnya 2 sampaI 5 hari.

Namun, jika mahar berupa barang tertentu yang tidak ada di tempat akad atau berupa sesuatu yang tidak ditentukan, seperti uang atau emas, maka penundaan boleh dilakukan asalkan batas waktunya jelas. Penundaan juga dapat dilakukan hingga waktu yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu, seperti panen, asalkan sifat peristiwanya jelas dan dapat prediksi.(Az-Zuhaili, IX/6788.

Terakhir, Mazhab Hanafi memperbolehkan mahar dalam bentuk utang dengan syarat jatuh temponya jelas. Baik sebagian atau keseluruhan mahar. Sebab itu jika penangguhan pembayaran mahar itu tidak jelas deadlinenya, maka tidak boleh, sebagaimana keterangan berikut:

“Para fuqaha (ahli fikih) memperbolehkan penundaan mahar. Menurut mazhab Hanafi: Mahar dapat ditetapkan untuk dibayar secara langsung (mu’ajjalan) atau ditunda (mu’akhkharan), baik seluruhnya maupun sebagian, hingga waktu yang dekat atau jauh, atau sampai waktu yang lebih dekat di antara dua keadaan: perceraian atau kematian, sesuai dengan adat dan kebiasaan di seluruh negara Islam. Namun, penundaan tersebut tidak boleh mengandung ketidakjelasan yang berlebihan (jahalah fakhishah), seperti seseorang berkata, “Aku menikahimu dengan mahar seribu (dirham) yang akan dibayar ketika aku mampu,” atau “ketika angin bertiup,” atau “ketika hujan turun.” Penundaan semacam itu tidak sah karena adanya ketidakjelasan yang berlebihan.” (Az-Zuhaili, IX/6787).

Pandangan ulama mazhab menunjukkan bahwa mahar dalam bentuk utang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan mengenai kejelasan waktu pembayaran menjadi hal yang krusial untuk menghindari kerugian salah satu pihak.

Dalam mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, maupun Maliki, prinsip kehati-hatian dan kejelasan akad sangat ditekankan. Karena itu, pasangan yang akan menikah perlu memahami ketentuan ini agar akad yang dilakukan selaras dengan syariat Islam. Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya